Jakarta, CNN Indonesia -- Cukup miris melihat banyak pemuda Islam yang terlalu reaktif. Mereka hanya mengikuti dan mendengar cerita-cerita yang provokatif oleh beberapa orang, tapi tak mau mencari tahu sendiri kebenarannya.
Tidak heran banyak pemuda pemikirannya seperti bebek yang berjalan mengikuti di depannya. Yang depannya mengikuti depannya. Mereka tak tahu arah yang paling depan itu mau ke mana.
Sikap bijaksana didapat dari pengalaman dan dengan mencari jalan tengah pada suatu permasalahan. Ketika hanya menyimpulkan permasalahan dari satu sudut pandang saja akan menumbuhkan fanatisme, dan fanatisme condong kepada kebodohan.
Perlu adanya pemikiran yang luas yang didapat dari berbagai macam referensi bacaan untuk melawan kekolotan berpikir. Pemuda Islam harus belajar dari penyebar agama Islam di pulau Jawa yaitu Wali Songo.
Mereka adalah tokoh yang penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Kepiawaian mereka dalam menyebarkan agama Islam menjadikan proses Islamisasi di Jawa berbeda dengan proses Islamisasi di daerah Lain.
Dalam proses penaklukan Spanyol ada tokoh macam Tharif ibn Malik, Tharik ibn Ziyad, dan Musa ibn Nushair. Tharif dapat disebut sebagai perintis dan penyelidik. Ia menyeberangi selat yang berada di antara Maroko dan benua Eropa dengan satu pasukan perang terdiri dari 500 orang. Di antaranya adalah tentara berkuda.
Musa ibn Nushair pada tahun 711 mengirim pasukan ke Spanyol sebanyak 7.000 orang di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad. Perlu banyak pasukan dan tentara berkuda dalam proses masuknya Islam ke Spanyol.
Berbeda dengan penyebaran Islam di Jawa, Proses Islamisasi dilakukan dengan cara damai yang lebih memperhitungkan unsur sosial demografi yang ada di masyarakat saat itu. Seperti Ja'far Shodiq atau Sunan Kudus, beliau membangun masjid dengan bentuk seperti pura tempat orang agama Hindu beribadah.
Selain itu juga ada kebijakan yang diterapkan di Kudus yang masih terlihat sampai sekarang, yakni bahwa Islam tidak menyembelih atau memakan sapi. Hal tersebut dikarenakan masih banyaknya para pemeluk agama Hindu.
Sunan Kudus tidak ingin melukai perasaan mereka (umat Hindu) yang menganggap sapi adalah hewan yang dihormati. Sangat nampak bahwa bahwa Sunan Kudus sangat memperhitungkan unsur-unsur budaya yang ada di masyarakat.
Selain itu masih ada Raden Said atau Sunan Kalijaga. Dari segi fesyen, Sunan Kalijaga terlihat lebih nyentrik daripada para Wali yang lain.
Di manapun ada foto atau gambar Wali Songo, terlihat bahwa pakaian Sunan Kalijaga berbeda dengan yang lain. Beliau mengenakan baju Khas Jawa warna coklat dengan motif lurik, ketika yang lain menggunakan baju putih.
Sunan Kalijaga juga mengenakan penutup kepala khas Jawa yang disebut blangkon, ketika yang lain mengenakan penutup kepala sorban.
Perbedaan pakaian dalam hal ini tidak menurunkan esensi Sunan Kalijaga dalam menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Hal tersebut juga tidak menjadikan Sunan Kalijaga diasingkan dari para Wali yang lain. Sunan Kalijaga tetap dihargai dan masih tetap berpengaruh serta diperhitungkan keberadaannya.
Dewasa ini, pemuda Islam harusnya tidak hanya belajar Islam dengan cara mendengarkan ceramah-ceramah saja. Namun harus mulai membuka buku dan catatan sejarah untuk memperkuat kerangka yang kokoh dalam berpikir.
Perlu kita ketahui bahwa Islamisasi di Indonesia sangat berbeda dengan Islamisasi di negara lain. Sunan Kalijaga tidak mengangkat pedang ketika menyebarkan Islam di tanah Jawa, namun mengangkat wayang kulit sebagai alat dakwah yang bisa diterima oleh masyarakat Jawa.
Masyarakat sekarang sering bias dalam melihat antara budaya Islam dan ajaran Islam. Islam seakan-akan diidentikkan dengan Arab. Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus mengajari kita bahwa Islam tidak bisa dinilai dari fisik saja.
Masjid Kudus dan Pakaian Sunan Kalijaga memperlihatkan bahwa Islamisasi di pulau Jawa tidak mengikuti budaya Arab. Sejarah di Indonesia telah membuktikan bahwa aturan Islam yang absolut (seperti Arab) tidak bisa dipaksakan untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Kartosuwiryo pernah memberontak karena menghendaki penerapan syariat Islam di Indonesia, dengan alasan agama yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia adalah agama Islam. Kartosuwiryo akhirnya mendirikan DI/TII yang tak bisa diterima dan dia akhirnya dihukum mati.
Ali Imron, terpidana seumur hidup kasus Bom Bali, pernah mengakui bahwa tindakannya merupakan hal yang salah.
Begitulah, Islamisasi di Indonesia tidak bisa dilakukan dengan cara pemaksaan. Itu hanya akan memperburuk citra Islam di Indonesia. Sejarah telah membuktikan bahwa pemaksaan paham Islam absolut tidak akan bisa berjalan di Indonesia. Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman budaya dan agama, dari Sabang sampai Merauke.
Islam merupakan rahmatan lil’alamin yaitu rahmat dan kesejahteraan untuk seluruh alam semesta. Sehingga seharusnya dapat menerima semua golongan. Piagam Madinah yang merupakan rujukan pasal-pasalnya untuk HAM (Hak Asasi Manusia) terbentuk karena nabi Muhammad SAW ingin menjaga supaya tidak terjadi konflik antara kaum Muslim, kaum Quraisy, dan Yahudi. Begitu sungguh tolerannya Islam sebenarnya.
Di Indonesia Pancasila merupakan dasar hukum yang sebetulnya seluruh ayat-ayatnya masuk dalam ajaran Islam. Dari mulai Ketuhanan yang Maha Esa, seperti Lakum Dinukum Waliyadin yang merupakan ayat ke-6 dari surat Al Kafiiruun. Yang berarti kita semua dipersilahkan untuk menentukan agama masing-masing tanpa ada paksaan.
Sampai Keadilan Sosial yang seperti dalam surat An-Nahl ayat 90 bahwa kita harus bersikap adil kepada semuanya dan selalu berbuat baik.
Kita diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal, dan kita harus saling menghormati tidak boleh merendahkan satu sama lain sesuai yang tertuang pada surat Al-hujurat. Pancasila sangat relevan untuk menjaga persatuan Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku ini. Para pendiri bangsa Indonesia menciptakan Pancasila untuk menjaga keutuhan negara ini.
Menurut penuturan peneliti senior LIPI, Dewi Fortuna Anwar, kunjungan Raja Arab ke Indonesia yang menghebohkan media Indonesia belum lama ini, bukan sekadar hanya kunjungan biasa. Indonesia merupakan tempat belajar toleransi yang paling bagus.
Di tengah menurunnya citra Islam karena konflik-konflik di negara Timur Tengah. Indonesia mampu berdiri tegak dan dapat mengajarkan sesuatu yang tidak dimiliki oleh negara Islam yang lain.
Pertemuan Raja Salman dengan tokoh-tokoh lintas agama di Indonesia merupakan pelajaran bagus bagi Arab terkait toleransi.
Sudah sepatutnya generasi muda yang ingin membangun negeri juga punya literasi. Bukan hanya sekadar mendengarkan nasihat atau pemikiran dari satu sudut pandang.
(ded/ded)