Jakarta, CNN Indonesia -- Terkadang kita merasa sedih jika melihat keluarga kita sendiri dan iri pada kehidupan teman di sekitarku, yang terlihat mapan dan nyaman. Dengan mengeluh kepada orang tua berharap bisa dapat segalanya.
Tapi setelah seiring berjalannya waktu aku semakin tahu bagaimana kehidupan mereka semua. Keluarga bagaikan dua sisi mata uang. Antara depan dan belakang selalu terlihat berbeda. Kutuliskan ini agar suatu saat ketika aku mulai cemburu dengan kehidupan orang lain aku sadar, bahwa keluarga meraka tak seindah bayangan kita.
Mungkin Tuhan benar memberikan cobaan tidak melebihi batas kemampuan kita. Batas cobaan terbesar Tuhan kita adalah kematian.
Aku bangga dilahirkan oleh kedua orang tuaku yang hanya orang desa dengan berlatar pendidikan SD dan SMP. Bagaimana tidak bangga mereka yang berpendidikan rendah namun mampu menyekolahkanku seperti mereka yang berlatar belakang sarjana.
Aku beruntung di usiaku yang 19 tahun ini aku masih sibuk menimba ilmu. Tidak seperti teman-teman di desaku yang sudah menikah bahkan ada yang tidak jelas kehidupannya di desa. Mondar mandir kerja bantu-bantu tetangga dan duduk di warung kopi ketika malam.
Aku pernah mendengar cerita teman-temanku yang orang tuanya pernah bangkrut atau bahkan berutang hingga ratusan juta. Juga mendengar cerita orang tua teman yang duduk menjabat di parlemen. Itu semua tidak membuatku iri.
Mereka yang sibuk dengan pekerjaan hingga sedikit waktu yang tercurahkan untuk keluarganya. Mereka yang mengemban jabatan penting memberikan acaman bagi keluarganya, ya begitulah politik setelah aku mempelajarinya. Semuanya mengajariku untuk bersyukur.
Hidup bukan semata-mata mencari duit. Ada sesuatu yang masih menjadi pertanyaanku dalam hidup. Sebenarnya untuk apa kehidupan ini?
Ketika aku masih duduk di bangku SMA sempat mempunyai tujuan hidup. Hidup itu merupakan bentuk terimakasih, terima kasih kepada orangtua kita yang sudah merawat kita hingga akhirnya kita bisa bertahan sampai sekarang ini.
Cita-citaku dulu hanya bekerja, menaikan haji kedua orang tuaku, aku menikah dan punya anak. Setelah itu silahkan Tuhan mencabut nyawaku. Setidaknya aku sudah berusaha membalas budi kepada orang yang telah menjagaku selama ini. Dan membalas kebaikan mereka kepada anakku kelak.
Benturan permasalahan dalam perkuliahan menjadikanku bisa berpikir berbeda. Setelah aku mengikuti berbagai organisasi yang ada di kampus aku menemukan banyak hal yang aku cita-citakan selama ini adalah salah.
Aku masuk jurusan Ilmu Pemerintahan di kampus satgas hijau dengan tujuan awal dapat menjadi PNS. Iya aku adalah orang desa, di desaku orang hanya menghargai orang lain yang mempunyai jabatan, mempunyai pengetahuan agama yang tinggi, dan orang yang mempunyai banyak duit.
Aku sadar bahwa aku tidak meliki pendidikan agama yang kuat dan orang tuaku bukan orang yang cukup kaya. Yang aku bisa kejar hanya jabatan. Dengan menempuh kuliah aku bisa mendapat gelar yang nantinya aku gunakan untuk mendaftar PNS. Lalu mendapat pekerjaan, mendapat jabatan, dan hidup nyaman.
Tapi setelah aku berpikir kembali ternyata itu adalah cita-cita yang konyol. PNS atau birokrasi adalah seorang pelayan masyarakat. Terjadi kesalahan berpikir dalam masyarakat yang aku lihat selama ini.
Masyarakat miskin pada umumnya lebih takut dan tunduk kepada birokrasi yang aku lihat. Dan kebanyakan para birokrasi mengganggap derajatnya lebih tinggi dari pada masyarakat. Bukankah Islam mengajarkan bahwa kedudukan manusia itu sama yang membedakan hanya tingkat imannya?
Para birokrasi merasa lebih tinggi karena mereka lebih rapi dan memperoleh pendidikan lebih tinggi. Mereka lupa bahwa gaji mereka didapat dari uang rakyat. Harusnya mereka yang lebih tunduk pada rakyat karena rakyat yang membayar mereka.
Negara sudah membuat peraturan yang mengatur tentang kinerja birokrasi. Namun itu hanya bisa diterapkan di kota/kabupaten yang terdapat banyak orang berpendidikan. Masyarakat kecil pedesaan yang kurang pendidikan tidak mengetahui aturan hanya nurut kesewenang-wenangan birokrasi di kecamatan.
Alasan kuat kenapa aku tidak ingin menjadi seorang birokrat adalah waktu. Waktu merupakan hal yang paling berharga, karena waktu tidak dapat diulang.
Aku berpikir jika menjadi PNS hidupku diatur oleh waktu. Berangkat tiap hari kerja jam 8 pagi sampai nantinya kita pensiun. Sejak aku bersekolah hidupku sudah diatur harus berangkat jam berapa dan pulang jam berapa.
Jika aku menjadi birokrat mungkin seumur hidupku akan diatur oleh sistem negara ini. Hidup itu cuma sebentar. Bayangkan jika kita tidur rata-rata 8 jam sehari itu artinya 1/3 dari 24 jam. Jika nanti misal aku hidup 60 tahun maka waktu yang aku gunakan untuk tidur saja sudah 20 tahun yang didapat dari hasil 1/3 dari 60 tahun.
Sisa waktu hidupku hanya tinggal 40 tahun belum terpotong waktu untuk makan, bercerita dan lain. Berpuluh puluh tahun hidupku akan diatur oleh sistem di negara ini jika aku menjadi seorang birokrat.
Menjadi pembuat sistem negara merupakan hal yang lebih menarik. Jurusan ilmu pemerintahan merupakan hal yang lucu juga. Karena dalam mata kuliah kita tidak terfokus hanya pada masalah birokrasi tetapi juga mempelajari terkait politik. Dan ini membuat aku berpeluang menjadi pengatur sistem negara atau pembuat kebijakan.
Aku sangat tertarik menjadi seorang eksekutif atau seorang legislatif. Fisipol merupakan fakultas yang memberikan ruang bagi setiap mahasiswa untuk belajar politik. Dalam kampus satgas hijau bentuknya seperti dengan miniatur negara.
Ada yang menjadi presiden mahasiswa yang memimpin BEM universitas yang menaungi seluruh fakultas. Ada gubernur yang memimpin fakultas seperti bupati atau wali kota jika dianalogikan di pemerinthan negeri ini.
Gubernur dan presiden mahasiswa dipilih melalui Pemilu dan yang menjadi pesertanya adalah mahasiswa satgas hijau. Yang menyelenggarakan Pemilu ada badan tersendiri yang berbentuk KPU (Komisi Pemilihan Umum).
Pemilu tersebut tidak hanya memilih gubernur dan presiden saja tetepi juga memilih DPMU (Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas) pada tingkatan Universitas dan DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) pada tingkat Fakultas itu seperti halnya DPR dan DPRD.
Mereka semua bisa mencalonkan dengan cara Partai Mahasiswa. Begitu menarik sekali pendidikan politik di kampusku.
Karena begitu miripnya politik di kampus dengan di negara ini, banyak cara-cara yang baik dan tidak baik dari pemerintahan di negara kita saat ini yang ditirukan oleh mahasiwa di kampus. Banyak cara yang digunakan oleh partai mahasiswa untuk memenangkan kekuasaan di kampus.
Seperti menjelek-jelekan partai sebelah, menjelek-jelekan ini itulah. Dan yang paling saya benci adalah janji-janji yang tidak dapat ditepati. Janji adalah sebuah hutang, dan utang itu harus dibayar bahkan dalam agama yang aku yakini sekarang sampai mati hutang itu akan ditagih.
Yang disayangkan adalah sesama mahasiswa yang awalnya berteman lebih dari sahabat, bisa musuhan hanya karena perbedaan calon yaang didukung untuk mengisi jabatan di kampus, atau yang calonnya kalah dalam Pemilu.
Berbanding terbalik dengan Fakultas Fisipol di kampus Biru. Mereka menamai dengan DEMA (Dewan Mahasiswa). Dewan mahasiswa tersusun dari perwakilan tiap jurusan yang ada di fakultas tersebut.
Terdapat divisi-divisi untuk melaksanakan progam kerja DEMA. Setiap devisi memiliki pemimpin yang disebut dengan Pimpinan Divisi. Para anggota DEMA menolak mengganti nama “DEMA” dengan “BEM”.
Sangat menarik alasan mereka. Mereka menolak adanya pemimpin tunggal yang mendominasi. Mereka beranggapan bahwa DEMA sejajar dengan HMJ (himpunan mahasiswa jurusan).
Berbeda di fakultasku, banyak pihak berebut untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Ketika partai Merah naik mereka menutup ruang gerak mahasiswa anggota partai lain dalam hal kegiatan di kampus.
Ketika Partai Biru naik menjadi Gubernur mereka mengisi sebagian besar anggota BEM dengan anggota partainya dan menyulitkan anggota partai Merah untuk masuk menempati kursi BEM.
Sehingga tidak heran jika ada acara-acara yang diadakan oleh fakultas seperti seminar dan diskusi pesertanya hanya orang partai Biru. Antara kampus satgas hijau dengan kampus biru mempunyai kelebihan dan kekurangannya untuk bentuk organisasi internal mahasiswa.
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh kedua orang-orang bahwa politik itu jahat, politik itu kotor. Politik sebenarnya adalah cara yang digunakan untuk mendapatkan sesuatu.
Cara yang digunakan itu bermacam-macam ada yang baik dan ada yang jahat. Aku selalu menjelaskan kepada kedua orang tuaku bahwa politik itu tidak selamanya kotor, karena mereka selalu melarangku untuk terjun ke dunia yang berbau politik.
Aku selalu berusaha untuk meyakinkan mereka. Dan aku selalu berpikir positif bahwa pemerintahan di negeri ini bisa diubah menjadi lebih baik. Tapi harapan positifku terhadap perkembangan Indonesia sudah sedikit meredup ketika aku mulai mengikuti Pemilu yang ada di Fisipol.
Di situ aku tahu bagaimana para DPM berkoalisi dan bagi-bagi kedudukan. Indonesia tidak akan berkembang pesat ketika budaya-budaya bagi kursi jabatan adalah tradisi yang diturunkan. Banyak mereka yang siap untuk menjadi pemimpin tapi mereka tidak siap dan berani melakukan perubahan.
Mereka mempunyai gagasan yang bagus untuk melakukan perubahan dengan cara menduduki kekuasaan. Tetapi ketika mereka duduk menduduki jabatan mereka tidak banyak melakukan perubahan dengan berbagai alasan.
Mulut yang dulu begitu lantang dan berani ketika mengkritisi orang yang duduk mengisi kekuasaan, seketika menjadi lembut ketika duduk mengisi kedudukan namun tidak dapat melakukan banyak perubahan. Seperti inikah generasi penerus bangsa ini yang nantinya akan melanjutkan perjuangan kemerdekaan?
Untuk melakukan perubahan kita tidak harus menunggu menjadi pemimpin kekuasaan. Banyak hal-hal kecil yang bisa dilakukan untuk melakukan perubahan. Yang membedakan orang sukses dan tidak adalah orang sukses selalu memikirkan sesuatu yang dimulai dari hal kecil, sedangkan orang gagal selalu memikirkan sesuatu dari hal yang besar sehingga mereka melupakan hal kecil yang kemudian menjadi batu pengganjal kegagalan hal besar yang diinginkan.
Ada banyak sekali organisasi dan komunitas di Yogyakarta memiliki pengaruh besar di masyarakat. Seperti contoh sekelompok orang yang menolak adanya toko berjejaring seperti Indomart dan Alfamart di Yogyakarta, yang dapat membunuh perekonomian pasar tradisional.
Bermula dari diskusi kecil-kecil dan kemudian disosialisasikan melalui media di internet. Banyak toko berjejaring yang marak kemudian tidak sesuai aturan karena berdirinya terlalu dekat pasar tradisional, akhirnya mulai ditutup oleh pemerintah daerah berkat banyaknya masyarakat yang mendukung hal tersebut dan melanggar aturan.
Pemerintah sudah membuat kebijakan dalam bentuk Perda (Peraturan Daerah) yang mengatur tentang jarak pendirian toko berjejaring minimal 500 meter dari pasar tradisional. Namun yang terjadi banyak toko berjejaring yang berdiri jaraknya kurang dari 500 meter dari pasar tradisional.
Itu bukan semata-mata kesalahan toko berjejaring tersebut, tetapi juga kesalahan Dinas yang terkait memberikan izin untuk mendirikan bangunan tersebut. Apakah orang yang peduli dengan pasar tradisonal dan menolak adanya toko berjejaring harus menduduki jabatan di pemerintahan untuk melakukan perubahan? Tentu saja jawabannya tidak.
Kita bisa melakukan perubahan dengan banyak cara. Sekelompok orang-orang yang peduli dengan pasar tradisional tersebut membuktikan bahwa perubahan bisa terjadi tanpa harus ikut duduk mengisi jabatan di pemerintahan.
Itulah alasanku kenapa tidak berharap ingin menjadi birokrat atau politisi. Mungkin aku harus meyakinkan kedua orang tuaku bahwa cita-citaku adalah melakukan perubahan-perubahan kecil di desaku. Apa bedanya lulusan sarjana dengan lulusan SMK setelah mendapat ijazah hanya mencari pekerjaan?
Paling tidak kita selaku sarjana bisa membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Pemerintah melakukan kesalahan jika mengatasi permasalahan pengangguran dengan cara membuka lapangan pekerjaan. Membuka lapangan pekerjaan dengan menambah perusahaan-perusahaan bukan jaminan dapat meningkatkan kemakmuran.
Kemiskinan dan pengangguran merupakan lingkaran yang sangat berkaitan. Menurutku untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan cara peningkatan pendidikan. Orang yang mempunyai pendidikan pasti dapat mudah mendapatkan pekerjaan.
Cara berpikir masyarakat desa harus diubah sedikit demi sedikit. Kebanyakan masyarakat desa di usia muda setelah menamatkan SMA/SMK mereka mencari pekerjaan. Bekerja di perusahaan-perusahaan dengan sistem kontrak yang gajinya kecil.
Mereka bekerja seperti mesin. Ketika mereka tidak mau bekerja maka akan digantikan oleh orang lain. Karena begitu banyaknya lulusan SMK/SMA yang menganggur dan mencari pekerjaan. Seolah-olah SMA dan SMK hanya mencetak para pekerja bagi perusahaan.
Beban dan tanggung jawab yang sangat berat di hadapanku terhadap kedua orang tuaku. Kedua orang tua kita pasti berharap menyekolahkan anaknya sampai bangku kuliah untuk kebahagiaan kita, supaya kita mendapat pekerjaan dan kehidupan yang nyaman jauh dari kemiskinan.
Tapi setelah pengalaman panjang yang kualami hidup bukan sekedar mencari kekayaan. Hidup adalah ketika kita sudah bisa bermanfaat bagi orang lain.
Percuma ketika hidup nyaman tapi disekitar kita masih banyak orang kelaparan dan kesulitan dalam menjalani kehidupan. Apakah aku harus bekerja dulu dan mempunyai banyak uang supaya aku bisa membantu memberikan pekerjaan atau memberikan uang kepada mereka? Aku rasa jawabannya tidak.
Memberikan pekerjaan atau memberikan uang itu akan menghambat kemandirian mereka. Yang perlu aku sumbangankan adalah pendidikan dan pengetahuan supaya mereka bisa mengubah keadaannya sendiri.
Cara awal yaitu melalui gerakan membaca karena kesadaran membaca di masyarakat masih sangat rendah. Sebelum ke masyarakat desaku mungkin aku memulai dari adikku sendiri yang masih TK.
Aku rasa Tuhan lebih menyukai manusia yang banyak memberikan perubahan untuk kebaikan daripada manusia yang sibuk mencari kekayaan. Orang tuaku mungkin harus mengerti bahwa mereka mempunyai anak yang banyak pemikiran bukan anak yang nurut pada anjuran.
(ded/ded)