Jakarta, CNN Indonesia -- 9 Desember 2017, diperingati Hari Antikorupsi Internasional, termasuk Indonesia. Lebih dari sekadar peringatan seremonial, Hari Antikorupsi Internasional sesungguhnya memberikan pesan penting yang relevan dan kontekstual dengan kondisi negeri saat ini, salah satunya revolusi mental.
Istilah revolusi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya perubahan, sedangkan mental artinya batin dan watak. Maka sesungguhnya perubahan watak atau perilaku ke arah yang lebih baik.
Istilah revolusi mental pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956. Soekarno melihat revolusi nasional Indonesia saat itu sedang mandek, padahal tujuan revolusi untuk meraih kemerdekaan Indonesia yang seutuhnya belum tercapai.
"Revolusi mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala,” kata Soekarno.
Revolusi harus tetap diperbaharui dan dilakukan, namun dalam arti yang berbeda. Bukan lagi revolusi di zaman kemerdekaan melawan penjajah, melainkan revolusi mental melawan korupsi. Zaman sekarang, dalam kehidupan sehari-hari, praktek revolusi mental menjadi manusia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan semangat gotong royong mulai luntur.
Peringatan Hari Antikorupsi Internasional penting bagi Indonesia, karena penyakit Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia sedang mengalami perkembangan yang sangat pesat. KKN tidak hanya menjangkit masyarakat kelas menengah atas, kini KKN telah menjalar ke kelas menengah bawah.
Tanpa kita sadari praktek korupsi ternyata telah dilakukan dari anak-anak, seperti bolos sekolah, mencontek, berbohong kepada orangtua, dan lain sebagainya.
Gagasan revolusi mental juga diangkat kembali oleh Presiden Joko Widodo, yang merupakan salah satu program pokok Presiden Jokowi yang didengungkan sejak awal masa Kabinet Kerja. Menurut Jokowi pendidikan anti korupsi harus dilakukan sedari dini, yaitu sejak di bangku sekolah. Pengawasan oleh masyarakat dan penegakan hukum melalui aparat kepolisian dan penegakan hukum secara adil oleh kejaksaan dan KPK.
Jokowi meminta revolusi mental ini diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekadar kata-kata. Menurutnya, sumber daya manusia yang baik akan tumbuh jika dimulai dengan saling memberikan teladan. Jokowi juga menilai pembangunan karakter setiap anak bangsa harus dimulai sejak dini. Mentalitas yang kuat harus ditanam sejak kecil agar generasi muda Indonesia bisa bersaing dengan bangsa lain (detik.com 20/10).
Bagaimana bisa generasi muda mencontoh teladan, sedangkan bila dilihat zaman sekarang di Indonesia para teladan seperti pejabat kepala daerah, pegawai kantor, bahkan guru, dan sebagainya, yang harusnya menjadi teladan bagi generasi muda malah memberikan teladan yang buruk?
Misalnya, kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi 2017, di antaranya: Rita Widyasari (Bupati Kutai Kartanegara Kalimantan Timur), Tubagus Iman Ariyadi (Wali kota Cilegon, Banten), Sri Hartini (Bupati Klaten, Jateng), Siti Masitha (Wali kota Tegal), dan masih banyak yang lainnya. Bahkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan proyek e-KTP, yang sedang hangat diperbincangkan saat ini.
Mungkin sekali, korupsi bisa diberantas dengan cara, pertama, partai politik harus secara konsisten melakukan pengawasan terhadap para anggotanya dan yang tergabung di dalam partai, karena banyak anggota partai politik yang melakukan korupsi. Kedua, kita sebagai masyarakat harus mendukung, membantu, dan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketiga, mengimplementasikan anti korupsi dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan Anti-Korupsi
Kegiatan pencegahan korupsi, sejatinya memang harus menyentuh semua lini dan lapisan masyarakat. Setelah para orangtua mendapatkan pelatihan, ada satu kelompok masyarakat yang juga tidak boleh diabaikan, yakni kelompok anak dan remaja.
Mencegah timbulnya korupsi dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat, yaitu dengan cara mensosialisasikan kepada masyarakat dengan literasi anti-korupsi, dimulai dari lapisan masyarakat menengah atas dan bawah.
Selain itu, peran orangtua dan lingkungan sangat penting untuk membentuk karakter anak agar tidak terjerumus melakukan korupsi. Misalnya, dengan melakukan kegiatan mendongeng dapat menjadi salah satu cara yang efektif dalam menanamkan nilai-nilai mental di keluarga. Dengan mendongengkan kepada anak-anak maka akan tumbuh nilai-nilai kejujuran sejak dini. Biasanya dalam sebuah cerita dongeng, terdapat nilai-nilai moral yang mendidik.
Peran sekolah dan elemennya seperti guru, dapat membentuk mental siswa dengan mengedukasi mengenai bahaya melakukan korupsi, seperti jangan mencontek, tidak bolos sekolah, tidak berbohong kepada guru dan teman-teman kelas. Karena peran guru menjadi sumber ilmu, moral, dan sumber informasi.
Dengan adanya pendidikan anti korupsi ini diharapkan juga para siswa memiliki pendirian serta jiwa anti korupsi. Munculnya jiwa antikorupsi itulah, maka bisa menjadikan benteng bagi mereka agar tidak melakukan kegiatan korupsi di masa yang akan mendatang.
Kesempatan
Sebenarnya tindakan korupsi itu muncul karena adanya niat dan kesempatan. Jika tidak ada kesempatan maka tidak akan niat melakukan tindakan tersebut. Maka, jika kita memiliki kesempatan untuk melakukan tindakan itu, sebaiknya berpikir panjang mengenai dampak yang akan diterima di masa yang akan datang. Mungkin akibat dari melakukan korupsi tidak akan langsung datang kepada kita. Namun, lambat laun akan terbongkar.
Pribahasa berkata “Ada kesempatan dalam kesempitan”. Kesempatan itu tidak datang dua kali, atau berkali-kali. Dalam sisi positif, tentunya kedua kalimat itu memiliki makna yang baik. Namun, jika dikaitkan dengan tindakan korupsi maka kita harus siap menerima konsekuensi atas tindakan yang telah dilakukan. Tentunya hal tersebut merupakan sisi negatif.
Pada dasarnya tidak ada manusia yang memiliki niat dan cita-cita menjadi penjahat. Seperti halnya para pejabat yang melakukan korupsi dengan mengumbar-umbar janji palsu kepada masyarakat, namun itu semua hanya tipu daya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Sudah menjadi hal yang lumrah kalau rata-rata manusia suka kehilangan akal sehat ketika telah berbicara tentang uang, semuanya terlena. Kesempatan takkan terwujud tanpa niat, namun niat tidak akan terealisasikan jika tidak muncul kesempatan.
Sebab korupsi itu dilakukan dari hal-hal kecil, pola didik dan pola pikir yang keliru. Mental kita diuji ketika disodorkan dengan keadaan untuk melakukan korupsi atau tidak. Jika mental kita kuat maka tidak akan terjerumus ke dalam lubang yang salah. Meskipun sudah tahu korupsi itu salah, dan tetap melakukannya berarti mentalnya telah rusak.
Revolusi mental itu adalah revolusi cara berpikir. Diharapkan agar pemerintah mampu menggalakkan kembali melalui aspek pendidikan, bahwa belajar bukan hanya mencari ilmu melainkan bertujuan mengubah mental yang buruk menjadi baik. Sehingga generasi muda bisa menjadi penerus yang intelektual. Serta membuat generasi selanjutnya memiliki mental antikorupsi yang sangat kuat dan mampu terhindar dari tindakan korupsi.
Tira Santia
Mahasiswa Prodi Jurnalistik Fikom Unpad
(ded/ded)