Jakarta, CNN Indonesia -- Sebagai masyarakat muslim di Indonesia sudah tidak asing lagi mendengar kata maulid nabi. Maulid nabi diperingati setiap tanggal 12 Robiul Awal pada penanggalan kalender Hijriah.
Tahun ini bertepatan dengan tanggal 1 Desember. Kata maulid dalam bahasa arab berarti hari lahir, hari di mana Nabi Muhammad SAW lahir ke dunia dan hari hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Sebenarnya secara substansi, peringatan ini merupakan sebuah penghormatan kepada mendiang Nabi Muhammad.
Beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa Sultan Salahuddin Al-Ayyubi adalah orang yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi. Sultan Salahuddin pada kala itu membuat perayaan Maulid dengan tujuan membangkitkan semangat umat Islam yang telah padam untuk kembali berjihad dalam membela Islam pada masa Perang Salib.
Seperti dikutip dari pikiran-rakyat.com, Presiden Joko Widodo mengatakan, memperingati Maulid Nabi berarti menyatakan komitmen, mengerahkan tenaga dan upaya untuk meneruskan serta merealisasikan kenabian Nabi besar Muhammad SAW dalam kehidupan. Lalu, Presiden mengatakan Madinah adalah bukti kerukunan dan persatuan lintas etnis, kerukunan lintas klan, kerukunan lintas agama. Juga antarkelompok pendatang, kelompok Muhajirin, dengan kelompok penolong kelompok Ansor.
Jika memang tujuan dari peringatan maulid nabi adalah membangkitkan semangat umat Islam, sudah seharusnya masyarakat berhati-hati terhadap ceramah yang memecah belah umat dengan nada provokasi dan menyebarkan kabar hoax. Masyarakat haruslah selalu memverifikasi kebenaran dari setiap materi ceramah tersebut. Tentu tujuannya agar tidak terjadi salah persepsi antara para penceramah dan pendengarnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ulama adalah orang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam. Saya teringat dengan kasus yang terjadi pada Juli lalu. Tayangan
Islam itu Indah di salah satu televisi swasta nasional mendapat kritikan dari masyarakat.
Ustad Syamsuddin Nur Makka menyebutkan kalimat yang amat senonoh dan terkesan melecehkan umat islam. Beliau menyebutkan dalam ceramahnya yang beredar, jika satu di antara kenikmatan bagi penghuni surga adalah adanya "pesta seks" karena nafsu seks selama di dunia harus dikendalikan. Tentu hal tersebut sangat mengundang reaksi yang beragam dari masyarakat. Masyarakat menilai ucapan tersebut tidak pantas diucapkan di depan khalayak ramai.
Melihat kejadian tersebut, sebenarnya kepekaan masyarakat terhadap materi ceramah sudah cenderung lebih baik. Sayangnya jarang sekali kita terpuaskan dengan materi ceramah yang dibawakan baik di masjid maupun di stasiun televisi. Sering kali materi ceramah hanya berisikan ancaman siksaan neraka, tawaran kenikmatan surga, dan kecaman terhadap suatu golongan yang berlawanan dengan Islam. Dalam kategori musuh-musuh Islam itu pun dimasukkan mereka yang alirannya tidak sejalan dengan penceramah.
Selain itu Al-Qur’an tidak boleh dipahami secara tekstual dan harfiah, melainkan harus dipahami konteks sosial ketika ayat tersebut diturunkan. Menurut Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-New Zealand, Nadirsyah Hosen, kenikmatan terbesar di surga nanti adalah ketika kita para umat islam mampu bertemu dan melihat wajah Allah SWT.
Beliau juga menambahkan bahwa kenikmatan minum khamr, bidadari, dan sungai dan kebun jangan hanya dipahami mentah-mentah. "Iming-iming kenikmatan ketiganya adalah strategi dakwah Islam sesuai konteks sosio-historis masyarakat Arab jahiliyah saat itu,” kataya, dikutip melalui laman NU Online.
Ditambah lagi dengan situasi dan kondisi di mana dinamika perpolitikan Indonesia sedang ramai-ramainya jadi bahan perbincangan. Dikhawatirkan beberapa “oknum” menyusupi materi politik dalam ceramahya. Masyarakat yang hanya ingin berdekatan kembali dengan junjungannya menjadi terganggu dengan materi yang dibawakan jika hal tersebut cenderung memberi hasutan negatif.
Bukankah pada hari itu seharusnya masyarakat melakukan sesuatu yang lebih mendekatkan dirinya kepada Islam, tetapi para “oknum” penceramah tersebut melakukan tindakan yang sebenarnya tidak dicontohkan nabi dan Tuhannya.
Kebanyakan argumentasi ceramah tersebut hanyalah bersifat subjektif tanpa memiliki fakta yang kuat dan tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Sesuai dengan definisi ulama yang sudah saya sebutkan di atas, harusnya mereka bisa memberikan kedamaian ataupun kesejukan umat. Bukannya justru membuat resah umatnya dengan menyebarkan ceramah yang bersifat provokatif dengan dampak konflik antar umat maupun dengan pemerintah.
Dalam Surat An-Nuur: 11-12 dijelaskan bahwa “Janganlah kamu kira berita bohong itu buruk bagimu, bahkan ia adalah baik bagi kamu.” Sebab, dari sebuah berita bohong atau fitnah, kita bisa dipaksa untuk terus belajar dalam proses tabayun.
Masyarakat harus pahami perayaan Maulid adalah momentum untuk meningkatkan kedekatan kita sebagai hambanya dengan Allah, melakukan kontemplasi sebagai seorang umat, melakukan kebaikan dan perbaikan diri. Bukan justru menghakimi orang lain atas dosa mereka dan menyebarkan informasi yang belum tentu benar adanya.
(ded/ded)