Mengubah 'Buntung' Jadi 'Untung' Ekonomi Digital

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Kamis, 21 Des 2017 17:26 WIB
Dunia digital membawa dampak positif dan negatif pada perekonomian Indonesia. Bagaimana supaya kita untung, tidak buntung?
Ilustrasi (Foto: Thinkstock/ipopba)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dahulu jika kita ingin memesan ojek, kita harus berjalan dulu ke pangkalan ojek terdekat. Ketika kita lapar, kita harus pergi ke supermarket atau tempat makan terdekat untuk bisa menyuap makanan. Begitupun jika kita ingin mengirim uang, kita harus pergi ke kantor pos untuk diweselkan, atau yang lebih modern pergi atm terdekat.

Namun zaman sudah berubah karena seluruh gerakan untuk berjalan tersebut bisa diefisiensi. Cukup membuka aplikasi ojek online, kita bisa memesan ojek tanpa pergi ke pangkalan ojek, kita juga bisa membayar ojek untuk belanja keperlan kita atau sekedar membawakan makanan. Pengiriman uang pun bisa dilakukan di rumah. Tinggal buka aplikasi e-banking, selesai sudah semua permasalahan kirim-mengirim uang.

Era globalisasi yang masuk ke Indonesia memang sudah tidak bisa terelakkan lagi. Alat-alat elektronik pun menjadi semakin canggih dan serba digital. Terbukti dari betapa banyaknya masyarakat yang kini bergantung pada internet.

Hal ini bisa dilihat dari data kuat yang menunjukkan bahwa 52 persen penduduk Indonesia merupakan pengguna internet dengan lama akses per harinya mencapai empat jam (sumber: Pikiran Rakyat Edisi Senin, 13 November 2017).

Hal ini membawa dampak positif dan negatif pada perekonomian Indonesia. Salah satu dampak buruknya adalah teknologi digital menjadi teknlogi yang paling disruptif karena telah mengubah pengalaman konsumen, mengubah proses perusahaan dan memaksa perusahaan agar menemukan kembali model bisnisnya.

Selain model bisnis, perusahaan juga dituntut melahirkan figur pemimpin yang seimbang di mana ia bisa menyelaraskan antara proses, data, teknologi, serta karyawannya. Karyawan pun bukan tidak mungkin suatu saat nanti akan tergeser dengan robot karena biaya operasinya lebih murah.

Jika hal tersebut terjadi, maka lapangan kerja yang tersedia semakin sempit dan menghasilkan banyak pengangguran. Hal ini pun diprediksi oleh komisi yang dibentuk PBB bernama On Financing Global Oportunity The Learning Generation pada Oktober 2016 lalu yang memprediksi bahwa 2 miliar pegawai di seluruh dunia kan kehilangan pekerjaannya pada tahun 2030.

Namun ramalan tersebut tak boleh membuat kita pesimistis. Sebab, ada beberapa langkah yang bisa mengubah ‘buntung’ menjadi ‘untung’. Pertama merealisasikan rancangan e-commerce roadmap yang dirumuskan berbagai kementrian mulai dari perekonomian, keuangan, perdagangan, perhubungan, hingga komunikasi dan informasi.

Menurut artikel yang dimuat di situs Kominfo, Presiden Joko Widodo optimis bahwa angka penggunaan internet yang tinggi bisa membuat Indonesia menjadi kekuatan ekonomi digital terbesar di Asean pada 2020 dengan proyeksi nilai transaksi e-commerce mencapai US$130 juta pada tahun yang sama. Potensi ini akan semakin luar biasa apabila pemerintah ikut mengawal netizen dengan regulasi yang baik oleh pemerintah melalui rancangan e-commerce roadmap tersebut.

Kedua, membangun Digital Mastery. Digital mastery, secara umum berarti upaya memaksimalkan kemampuan digital dan kepemimpinan (digital capabilities dan digital leadership) sehingga perusahaan dan individu bisa bergerak secara optimal di dunia yang serba daring. Digital Mastery juga harus diikuti beberapa aspek, seperti melakukan experentiol terhadap digitalisasi itu sendiri, yakni berinvestasi digital, mengadopsi teknologi digital, dan mengimplementasikannya sambil menawarkan nilai-nilai inovatif.

Serta dibangun melalui digital mastery project, dengan membangun lingkungan berkonsep silicon valley, semacam “perkampungan teknologi,” di mana setiap orang mampu bersentuhan secara intensif dengan teknologi baru. Atau merealisasian booth-camp dengan pendekatan diskruptif eksperiental, coaching dan mengoptimalkan potensi terbaik dari setiap talent yang ada. Proyek booth-camp bisa menyeimbangkan kemampuan digital dan kepemimpinan, menyelaraskan ide-ide yang timpang serta membuat konsentrasi individu menjadi konsentrasi kelompok.

Ketiga, memfokuskan manajemen bakat (talent management) pada sumber daya manusia di perusahaan dengan mengembangkan potensi masing-masing karyawan sejak proses perekrutan. Visi perusahaan harus diterapkan kepada karyawan dan membuat karyawan merasa terikat dengan sendirinya.

Pimpinan perusahaan perlu senantiasa berbagi secara akrab dengan para karyawan. Ikatan yang kuat antar sumber daya manusia dan perusahaan bisa menghasilkan ide-ide kreatif yang tak bisa dihasilkan oleh robot. Membuat lingkungan kerja kondusif dan nyaman pun bisa dilakukan agar karyawan tidak merasa stress, sehingga mereka bisa bekerja secara produktif. Dalam hal ini, mungkin perusahaan lain bisa belajar dari sistem manajemen perusahaan Google yang menghasilkan karyawan-karyawan jenius.

Keempat, memaksimalkan potensi wirausaha milenial di era digital. Budaya generasi milenial yang lebih kritis dan tidak konsumtif, menumbuhkan potensi mereka untuk menjadi seorang entrepreneur seperti apa yang dituliskan oleh Jason Harber dalam artikelnya yang berjudul “Why Millenials May Just Be the Best Entrepreneurial Generation Ever” dan dimuat di www.entrepreneur.com.

Haber berpendapat bahwa generasi milenial adalah generasi yang rajin mencari kesempatan, praktis dan tertantang untuk membuka peluang baru. Maka dari itu, generasi muda kita pun butuh kawalan start-up bisnis yang ingin mereka bangun. Misalnya dengan memberikan coaching/pelatihan agar wirausaha milenial berhasil mengendalikan dan menciptakan emosi postitif dengan menemukan kemampuan terbaiknya. Dengan menggenjot potensi kawula muda tersebut, maka pertumbuhan startup di Indoensia bisa tumbuh berkali-kali lipat.

Dengan menjalankan keempat langkah tersebut, maka niscaya Indonesia bisa memiliki daya saing yang sama dengan negara-negara maju. Penggenjotan pada generasi muda harus diutamakan mengingat usia mereka yang masih panjang dan memiliki potensi-potensi untuk mengubah perekonomian negeri. Maka dari itu pemerintah harus mengawal perusahaan-perusahaan, pengusaha muda dan generasi milenial agar target optimis Indonesia tidak menjadi angan belaka.

Dwiarti Rizky Fauziah
Mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER