Jakarta, CNN Indonesia -- Waktu bersisian di celah super cepat senantiasa membawa kisah-kisah di antara ruang-ruang semesta. Memberi kabar pada semua planet tentang akan datang hari baik bagi semua bangsa.
Kor, pernah memberi tujuh pernyataan di antara langit dan awan, meski dalam badai topan menderu. Ada saatnya sirna. Akan lahir kasih, berjuta cahaya gemintang, akan datang cinta berjuta terangnya. Rembulan membawa perdamaian bagi semua bangsa. Menuju peradaban akan datang.
“Akankah semesta musnah lalu akan hadir peradaban itu. Jawaban ada pada nurani kebaikan. Itu jawaban Kor. Ketika aku bertanya,” kata Amaramis, perlahan suaranya.
Sin menangkap makna itu, memeluk erat Amaramis. Ams tak boleh larut, harus tetap menatap batas horizon. Di sana akan muncul derap tentara kaisar imperium dengan senjata modern, sekadar kesombongan mereka, terus mencoba menguasai impian dari kejayaan mereka.
Ketiganya segera melompat ke atas kuda. Sin mengangkat tangan, tanda bersiap-siap melemparkan bunga tujuh warna ke langit.
Dari balik batas horizon terdengar suara terompet sangkala menggema. Sin memberi tanda pada Ams dan Amaramis, untuk segera melemparkan bunga tujuh warna bertepatan dengan munculnya kaum imperium di batas horizon.
Bunga-bunga menjadi berbagai bentuk badai topan menggulung awan di langit. Menjadi tujuh mata angin puting beliung super gigantik. Menyerang barisan tentara imperium bersenjata modern pemusnah massal. Tak terlihat apapun lagi. Di kejauhan hanya ada gerakan angin puting beliung menderu dahsyat.
Sin memberi tanda untuk segera menuju kota klasik. Di sana tempat Kor dilahirkan, tak jauh dari bukit Kor menghembuskan nafasnya bagi dunia, perdamaian dan cinta kasih, sebuah tujuan mulia tak pernah padam.
Ketiganya memacu kuda mereka dengan kecepatan tinggi. Bersamaan saat keajaiban itu terjadi, para tentara imperium seperti disadarkan.
Cahaya terang di tengah tujuh badai angin puting beliung menyulap mereka menjadi rakyat jelata, petani, pekerja, pengrajin, seniman, para ahli, budaya, sains dan banyak lagi, sesuai dengan masa lalu mereka.
Zachriah, mengayuh sepeda menuju sekolah Ams, ia mendapati Pak Joh dan Pak Pite, keduanya sedang asyik merapikan dan menyiram tanaman pagar sekolah. Tampak tanaman kembang sepatu semakin merah tumbuh di sepanjang tanaman pagar itu. Zachriah menghentikan sepedanya dekat di antara Pak Joh dan Pak Pite.
Sebelum Zachriah bertanya, kedua orang itu memberi jawaban. “Ams sedang bercengkerama dengan para sahabatnya di taman sekolah sebelah Barat Bunda.”
Zachriah menganggukkan kepala dan memberikan oleh-oleh kue-kue buatannya pada kedua orang itu.
Dari kejauhan Zachriah melihat sosok Ams sedang bersemangat seperti sedang bercerita tentang sesuatu yang amat mengasyikkan. Zachriah mendekat perlahan. Ia tak ingin Ams terganggu oleh kehadirannya. Dari jarak tak terlalu jauh Zachriah, mendengar samar-samar hal kisah-kisah tengah diceritakan oleh Ams kepada para sahabatnya.
“Ia akan membawa cinta kasih bagi semua sahabat bangsa kelak. Waktunya akan tiba,” kata Ams, bagai sesejuk air pegunungan. Itu makna dari cerita yang dikisahkan Ams kepada para sahabatnya. Terdengar bagai di bawa angin sepoi-sepoi ke telinga Zachriah. Ams menoleh sejenak, merasakan kehadiran Bundanya, berada tidak terlalu jauh darinya.
Ams menganggukkan kepala ke arah Zachriah. Semua teman Ams menoleh ke arah Zachriah mendekat. Suara riang gembira bersahutan menyambut kehadiran Bunda Zachriah. Mereka langsung membuka bungkusan berisi kue-kue, bersama mereka semakin seru mendengarkan Ams melanjutkan ceritanya.
Penguasa imperium marah besar mendengar cerita tak masuk akal dari para saksi mata. “Jika berbohong, aku penggal kepala kalian. Siapa berani menentang kekuasaan kekaisaran imperium ini. Berani betul orang itu.”
“Dia bukan orang yang mulia. Dia cahaya yang datang dari langit.”
“Hahaha. Hanya ada cahaya matahari di batas horizon itu. Tak ada cahaya lain.”
Kaisar imperium mengirim pasukan perang lebih banyak, dengan persenjataan modern tercanggih dan lebih lengkap. “Musnahkan para penentang kekuasaan imperium!” Suara kaisar imperium menggema di istananya.
Cahaya itu datang tepat di atas istana imperium. “Aku tidak seperti terlihat. Waktunya telah tiba. Kebaikan bagi semua bangsa.” Benar seperti suara cahaya itu.
Awan di langit menggulung semakin tebal dan pekat, hujan deras dari langit. Seluruh kerajaan itu berubah rupa menjadi bukit-bukit subur, sawah ladang dan para petani tengah menyanyikan syair-syair menanam benih.
Setibanya di kota klasik itu Sin seakan tak percaya pada penglihatannya.
Amaramis, menoleh sejenak pada Sin.
Ams turun dari kuda, melihat jejak dari sandal amat dikenalnya. “Kor baru saja dari sini,” suara Ams memastikan.
“Ya. Aku merasakan kehadiran Kor,” kata Sin seraya memandang orang-orang lalu lalang menuju tempat-tempat ibadah sesuai kaumnya.
Amaramis menarik tali kekang kuda menuju rumah masa lalu, diikuti oleh Sin dan Ams. Amaramis, turun dari kuda. Memandang sejenak pada Sin dan Ams. Keduanya menganggukkan kepala, mengijinkan Amaramis masuk lewat pintu dapur rumah masa lalu di kota klasik itu.
Perasaan Amaramis tak menentu, segera bergegas menuju ruang dapur. Ia dapati cawan itu masih di tempatnya dan baru saja usai terisi. Sin dan Ams mengikuti berdiri di belakang Amaramis.
Amaramis memegang cawan itu sejenak lalu diletakkan kembali. Perasaannya mengatakan Kor ada di ruang tamu, di meja panjang dari kayu buatannya, tempat Kor bercengkerama dengan para sahabatnya. Amaramis segera bergegas ke ruang itu. Sin dan Ams mengikuti.
Amaramis seperti mendengar suara amat dikenalnya, ia mempercepat langkahnya menuju ruang itu, diikuti oleh Sin dan Ams.
Terlihat Kor dalam cahaya indah tengah bercengkerama dengan Ayahnya, seperti biasa obrolan jenis kayu terbaik untuk membuat cawan terbaik bagi sesamanya.
Entah secepat apa ruang itu berubah menjadi sebuah ruang keluarga bagai ihwal tempo dulu. Sin duduk berdampingan dengan Ayah Kor. Amaramis dan Ams duduk di hadapannya, di kursi kayu di meja panjang itu.
Keadaan berubah lagi, menjadi berbeda waktu dan cuaca. Suatu keadaan indah tak sebagaimana keindahan seperti lazimnya. Terdengar suara doa-doa kebaikan bagi kesuburan dan perdamaian di bumi. Bagai mimpi di taman nurani surgawi.
Kor telah bersimpuh di hadapan kedua orang tuanya. “Ayah telah membesarkan aku dengan keahlian sebagai tukang kayu,” kata Kor kepada Ayahnya. “Ibu, engkaulah Ibunda sejati sepanjang hidupku. Ijinkan aku membasuh kaki Ayah dan Bunda.”
Amaramis dan Ams, terkesima haru dalam nurani sublim. Menyaksikan peristiwa dalam cahaya indah itu.
Ams menyampaikan pidato di podium pertemuan semua bangsa di kota metropolis di benua yang jauh. Ia tidak mengkritisi tentang kota klasik, kini tengah menjadi sengketa seperti diberita-berita dunia.
“Saya hanya memohon kepada pemangku kepentingan dalam konflik atas kota klasik itu. Kembalikan kota itu sebagaimana telah tertulis di kitab-kitab kebijaksanaan. Bahwa kota klasik itu milik semua bangsa dan keyakinannya,” Ams mengakhiri kalimat penutup pidatonya,
Tepuk tangan gemuruh memenuhi ruang konferensi perdamaian bagi semua bangsa.
Jakarta, Indonesia, Desember 14, 2017.
(ded/ded)