Jakarta, CNN Indonesia -- “Aku sama sekali tidak mengenalnya,” isak Heri di samping jasad putra semata wayangnya. “Sibuk mengejar materi, aku lupa dengan anak sendiri. Andai waktu bisa kuulang kembali. Sekali ini saja.”
Uraian air mata belum juga berhenti. Nampak Heri enggan melepas kepergian Akmal, putra kebanggaannya itu. Berkali-kali, Heri menciumi kening putranya yang baru menginjak usia 22 itu. Setelah kehilangan pujaan hati di atas meja persalinan, kini Heri kembali menelan kenyataan pahit harus pula ditinggal sang buah hati.
Kala menemani Akmal di rumah sakit, Heri mendapati sebuah buku tipis berisi catatan milik putranya. Hingga maut menjemput Akmal, Heri belum juga berani membaca catatan tersebut.
Ikhlas hanyalah sebuah kata, kehancuran hati ditinggal sendiri di dunia ini belum tentu terobati. Berminggu-minggu, Heri mengurung diri di rumah, meratapi kesendiriannya.
***
Tangis seorang bayi memecah situasi unit gawat darurat malam itu. Heri menangis sekencang-kencangnya, menatap kenyataan sebuah perisitiwa kelahiran sekaligus kematian.
Dilema besar menyapa Heri malam itu. Ibarat berdiri di tepian jurang yang bersiap runtuh menuju lubang tanpa dasar. Istrinya, pujaan hatinya, wanita yang menerima kekurangannya, harus angkat kaki dari dunia ini.
Di tengah-tengah lamunannya dengan mata sembab akibat untaian air mata, seorang perawat menyodorkan sesosok bayi gemuk berkulit putih. Naluri seorang ayah belum pudar pada diri Heri tatkala spontan menggendong bayi yang terus-terusan menangis itu.
“Bayi ini butuh nama, mas,” kata perawat itu.
Heri masih diam saja. Dengan penuh kelembutan dan kehati-hatian, Heri menimang-nimang bayi itu. Air mata belum juga selesai membahasi pipinya.
“Mas…”
“Ehh… Ya?”
“Segera beri nama untuk anakmu, mas.”
“Akmal Heri Putra. Itu namanya.”
***
Tiga bulan terlewat sudah sejak kematian Akmal. Heri mulai memantapkan diri untuk memasuki kamar tidur mendiang putranya. Suasana lembab berhiaskan butir-butir debu beterbangan, menyambut Heri saat membuka pintu kamar mendiang putranya. Kamar itu tak mendapat jatah sinar matahari. Semua jendela yang ada jarang sekali terbuka.
Mungkin sepuluh tahun, pikir Heri, kamar ini tertutup bagi dirinya. Heri sangat menghormati privasi putranya. Apa saja yang disimpan, hingga apa saja yang terjadi di kamar Akmal satu dekade belakangan, sama sekali tidak diketahui Heri.
Satu dekade belakangan, Heri tidak punya banyak waktu untuk dihabiskan di rumah. Tiap pukul 6 pagi, Heri sudah berangkat menuju kantornya yang berjarak dua jam perjalanan. Tiap pukul 10 malam sesampainya di rumah, Heri bergegas tidur. Rutinitas itu berulang-ulang, bahkan di hari minggu.
Satu dekade belakangan, Heri nyaris lupa punya satu anak laki-laki. Satu dekade belakangan, Heri lebih memercayakan Akmal pada tetangga seberang rumahnya untuk diurusi segala kebutuhannya. Heri memberikan sejumlah uang tiap bulan kepada tetangganya itu untuk keperluan Akmal.
Heri nampak terkejut melihat isi kamar mendiang putranya. Barisan tumpukan buku menjulang tinggi berhias debu. Tajuk-tajuk buku sejarah tebal berada di paling bawah, menopang puluhan buku di atasnya.
Seluruh dinding di kamar putranya bercat hitam pekat. Sebuah lukisan besar bergambarkan perempuan bertopi pet dengan wajah oriental, nyaris menutupi separuh dinding kamar. Komputer milik Akmal pun menyala, masih tersalur aliran listrik. Sebuah gambar teratai putih memenuhi layar komputer itu.
Perasaan bersalah tetiba menghujam Heri. Sambil menduduki ranjang mendiang putranya, Heri menyesali perbuatannya satu dekade belakangan.
“Apa yang hendak ia capai? Bagaimana jalan pemikirannya? Oh Tuhan, hadirkan ia satu kali lagi. Banyak hal yang ingin kubicarakan bersamanya.”
***
“Ayah, aku ingin kuliah Hukum,” suara Akmal di ujung telepon.
“Ya, silakan. Tapi satu syarat, kuliah di sini saja.”
“Tidak ayah, aku ingin ke Cambridge.”
“Sudah gila kamu! Tidak usah pergi jauh. Di sini saja, temani ayah.”
“Siapa yang gila? Saya mau kuliah, bukan mau menemani orang gila.”
“Kurang ajar! Kita bicarakan hal ini nanti di rumah.”
“Di rumah? Losmen lebih tepat ketimbang menyebut ini sebuah rumah!”
“Apa kau bilang? Eh… Halo…? Akmal..? Dasar anak sialan!”
***
Sekira satu jam, Heri masih duduk termenung di atas ranjang milik mendiang anaknya. Tangan kananya memegang buku catatan peninggalan Akmal. Di siang yang mendung itu, Heri memilih untuk tenggelam dalam palung kesedihan penuh penyesalan. Lembar demi lembar buku catatan itu mulai dibacanya dengan seksama.
“Hari ini, 10 Oktober 2016. Aku berkenalan dengan seorang wanita paling cantik di dunia ini. Tirta namanya, serupa air suci yang menjernihkan dunia. Kecantikaannya belum pernah kutemukan sepanjang hidup yang menyedihkan ini. Tirta gemar sekali menggunakan topi pet berwarna abu-abu. Satu dari jutaan hal yang kukagumi dari wanita ini, ia merupakan pembaca buku ulung. Ratusan buku mungkin, sudah dia lahap dan bersarang di otaknya yang luar biasa itu. Dari sekian strategi untuk bisa mengajak dia mengobrol panjang lebar, sodoran buku adalah yang terbaik. Aku harus banyak membeli buku mulai hari ini. Tidak jadi persoalan kukira, bila uang untuk membayar angsuran kuliah kugunakan untuk memburu buku yang belum pernah ia baca. Berbohong mengenai nominal angsuran kuliah kepada ayah keparat itu tidak akan mendulang dosa, kukira. Aku harus terus bertemu dengannya. Aku harus mendapatkan cintanya. Biarkan sajalah aku kekurangan makanan dan pakaian. Buku adalah senjata serupa busur panah dewa cupid. Apa peduli dunia dan ayah keparat itu kepadaku?”
“Hari ini, 25 Januari 2017. Aku berhasil meyakinkan Tirta untuk mengajakku bertandang ke rumahnya. Tentu saja dengan amunisi buku yang ingin kubedah bersamanya. Rumahnya terasa sangat nyaman dan penuh kehangatan. Kedua orangtuanya ramah luar biasa. Di ruang tamu, terdapat lukisan teratai putih yang indah sekali. Teratai putih itu ternyata lukisan yang dibuat ayahnya. Bersamanya, aku berdiri cukup lama di depan lukisan teratai putih itu. Teratai putih ternyata jenis tumbuhan yang sangat ia gemari. ‘Jika nanti sudah punya sendiri, aku ingin membuat sebuah kolam dengan teratai-teratai putih terambang di atasnya’ katanya dengan nada suara seindah teratai putih itu. Terpesona? Tentu saja! Aku makin terperangkap dalam kekaguman terhadap wanita ini.”
“Hari ini, 14 Februari 2017. Aku hendak membelikan topi baru untuknya. Topi yang dia sering kenakan lenyap entah kemana dua pekan lalu. Sudah kutemukan, topi pet serupa miliknya yang raib itu. Warna topi yang kupilih tetap abu-abu, hanya ukurannya nampak sedikit kebesaran saja. Aku harap dia menerima topi ini, di hari penuh kasih sayang kali ini.”
“Hari ini, 15 Juni 2017. Aku menjemputnya dari sebuah toko buku, sepulang aku berguru silat di utara. Ya, aku beguru silat sudah tiga bulan ini. Sebuah cerita indah pernah Tirta sampaikan mengenai filosofi teratai putih yang banyak dianut perguruan silat. Selain memperoleh ketangkasan menangkis pukulan lawan, aku juga berlatih pola pernapasan. Aku sangat butuh pelatihan pola pernapasan ini, pneumonia sialan yang bersarang di paru-paru ini harus kulawan. Lebih baik mati berusaha ketimbang diam saja.”
“Hari ini, 29 November 2017. Pneumonia keparat ini makin menjadi saja. Mungkinkah sebuah kutukan telah bersamaku sejak lahir? Kenapa aku harus hidup di bawah naungan orangtua dan sebuah penyakit yang sama keparatnya?”
“Hari ini, 30 November 2017. Aku sudah berbaring di sebuah ruangan dengan aroma menjijikkan. Tidak ada penyesalan perihal mesti terbaring di ruangan ini. Satu hal yang masih terus berpusing-pusing di kepalaku, apakah keputusanku untuk tidak memberitahu Tirta tentang keadaanku saat ini sudah tepat? Aku enggan ia melihatku dengan kondisi buruk seperti ini. Sial..! Sungguh sial..! Kenapa di saat dunia menjadi sedikit terang untukku, aku mesti mengucapkan selamat tinggal kepada satu-satunya orang yang sangat kucintai di dunia ini.”
***
Isak tangis Heri menggema di kamar Akmal. Buku catatan milik mendiang putranya itu diciuminya berulang-ulang. Putra semata wayangnya mesti pergi meninggalkan dunia ini karena keangkuhannya sebagai seorang ayah.
Jangankan perihal pneumonia yang diidap putranya, kenyataan bahwa seorang gadis telah menyinari kehidupan putranya, dengan kasih sayang seorang wanita yang belum pernah ia dapat sebelumnya, luput dari tanggung jawabnya sebagai orangtua.
“Arghh…. Tuhan… Aku mohon..! Hadirkan ia sekali ini saja! Aku hendak memeluknya. Ambil saja nyawaku ini. Berikan ia kehidupan satu kali lagi!” isak Heri bersujud di lantai kamar mendiang putranya.
Jatinangor, 2017
—
Indra Kurniawan
Mahasiswa Program Studi Komunikasi, FISIP
Universitas Komputer Indonesia
(ded/ded)