KONFLIK ROHINGYA

Pengungsi Rohingya Terus Menderita

CNN Indonesia
Rabu, 27 Agu 2014 14:27 WIB
Sudah menderita di negara sendiri, pengungsi konflik Rohingya tetap tersiksa selama pelarian mereka. Sampai di tujuan pelarian, kondisi fisik mereka pun semakin memburuk.
Pengungsi Rohingya kerap menumpang perahu penyelundup untuk ke Malaysia.(Reuters/Anindito Mukherejee)
Jakarta, CNN Indonesia --

Laporan terbaru dari Badan Pengungsi PBB, UNRA, menyatakan puluhan ribu pengungsi konflik Myanmar terus mengalami perlakuan kekerasan saat melarikan diri kala menumpang perahu milik pelaku penyelundupan manusia.

Hingga Juni kemarin, 53 ribu orang tercatat telah meninggalkan wilayah perbatasan Myanmar dan Bangladesh dengan kapal untuk berkumpul kembali keluarga mereka di Malaysia. 

Data “Irregular Maritime Movements” yang dimiliki UNRA mencatat jumlah tersebut meningkat 61 persen dari tahun 2013.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

UNRA mengatakan bahwa para pengungsi yang menumpang perahu harus membayar US$50 hingga US$300. 

Beberapa perahu biasanya memiliki awak bersenjata yang kerap melakukan kekerasan verbal dan fisik agar pengungsi patuh bersembunyi supaya “perahu pengangkut barang” tersebut tidak terdeteksi petugas keamanan.

Selama di laut, para pengungsi diberi makan nasi atau mi instan, bahkan terkadang ada yang tidak diberi makan selama berminggu-minggu. 

Saat berlabuh di Thailand, para pengungsi diangkut dengan mobil bak terbuka menuju tempat persembunyian di hutan dan berdiam di sana tanpa diberi makan.

Untuk melanjutkan perjalanan ke Malaysia, kerabat mereka di Thailand harus membayar biaya yang sangat tinggi kepada para penyelundup yang juga  pemilik kapal. Jika tidak membayar, para pengungsi diancam akan disiksa atau disekap hingga bisa ditebus.

Tahun ini sudah lebih dari 200 orang yang diperkirakan tewas dalam moda pengungsian ini, meski jumlah tersebut “lebih sedikit” dari tahun lalu, karena kini banyak pengungsi menyewa perahu yang lebih layak.

Penyebabnya kematian mereka antara lain sakit, udara panas, kelaparan dan pemukulan. 

Penganiayaan di Myanmar

Meskipun banyak penduduk yang telah mengungsi, masih banyak juga penduduk yang “terpaksa” bertahan di Myanmar atau Burma.

Data Badan Pembelaan Hak Asasi Manusia, Human Right Watch ,HRW, menunjukkan bahwa akibat kekerasan dan konflik di Rakhine, dari 800 ribu warga140 ribu terpaksa tinggal di tempat penampungan dan 40 ribu lainnya terjebak di desa-desa terpencil. 

Penderitaan korban konflik semakin bertambah saat pemerintah Myanmar melarang kelompok kesehatan asing, Medecins Sans Frontieres, MSF, memberi bantuan di Rakhine. “Ini adalah tragedi kemanusiaaan,” kata perwakilan HRW, Phil Robertson.

Pelarangan operasi MSF sebenarnya telah dicabut pada akhir Juli lalu. Namun MSF juga belum dapat memberikan bantuan yang maksimal karena semakin banyak korban konflik yang berjatuhan.

“Para pengungsi ialah penduduk yang berusaha meninggalkan tempat penampungan yang tidak layak karena kurangnya pasokan obat dan makanan,” kata Robertson.

Sakit sampai di Malaysia

Malaysia mencatat bahwa terdapat  38 ribu orang yang mengungsi dari Rohingya sejak 2013 dan banyak dari mereka yang memerlukan pengobatan serius.

Sampai Juni, lebih dari 140 pengungsi didiagnosa mengidap penyakit beri-beri yang disebabkan oleh kekurangan gizi dan vitamin B. 

Angka pengungsi pengidap penyakit beri-beri yang dapat menyebabkan kelumpuhan dan kematian ini  meningkat 12 kali lebih tinggi dari tahun 2013.

Konflik terjadi karena pemerintah Myanmar tidak mengakui status penduduk muslim di Rohingnya sebagai warga di negara yang mayoritas penduduknya adalah pemeluk Buddha tersebut.

Padahal dalam beberapa tahun terakhir, pemerintahan baru Myanmar di bawah kepemimpinan Presiden Thein Sein banyak dipuji karena mampu membuka kembali jalinan komunikasi dan perdagangan antar negara yang selama ini tertutup.

Tetapi komitmen mereka untuk konflik Rohingnya mulai dipertanyakan dan akhirnya melunturkan pujian tersebut.

Dua pewakilan komisi perlindungan pemeluk agama dari AS berkata bahwa mereka sangat terpukul dengan laporan mengenai kekerasan di Rakhine yang diperoleh setelah kunjungan mereka ke Myanmar selama lima hari.

“Tidak ada keberpihakan selama pembuatan laporan ini. Kekerasan yang terjadi sudah mengabaikan norma kesehatan, kebebasan serta hak warga negara,” kata sang perwakilan, M. Zudhi Jasser dan Eric P. Schwartz.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER