DEMOKRATISASI HONG KONG

Hong Kong Bukan Lagi Anak Emas Tiongkok

CNN Indonesia
Kamis, 04 Sep 2014 16:23 WIB
Upaya demokratisasi di Hong Kong dijegal pemerintah pusat di Hong Kong yang menerapkan totalitarianisme. Demokrasi yang dijanjikan pada 1997 tinggal impian.
Hong Kong bukan lagi anak emas Tiongkok, ada Shanghai yang perannya tidak kalah penting.
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Terjadi celah persepsi yang besar antara pemerintahan Hong Kong dan Beijing.

Pemerintah pusat menginginkan Hong Kong dipimpin oleh tokoh lokal yang disetujui Beijing, sementara pegiat demokrasi di wilayah itu ingin demokrasi seutuhnya. Sesuai janji Tiongkok saat menerima Hong Kong dari Inggris tahun 1997.  

Namun, keinginan Hong Kong seakan dimentahkan Tiongkok.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tingkok yang kini makmur dan kuat secara politik, militer, serta ekonomi, tidak lagi menganggap Hong Kong penting.

Dulu Hong Kong jadi anak emas karena dianggap sebagai pintu masuk bagi Negeri Tirai Bambu yang tertutup. Selain itu Hong Kong adalah pusat ekonomi yang banyak berkontribusi bagi Tiongkok.

Namun Tiongkok kini punya Shanghai yang perannya tidak kalah besar dalam menyumbang perekonomian negara itu.

Hong Kong yang kian tersingkir itu kini coba diubah Tiongkok sesuai dengan ideologi mereka.

Para pemuda Hong Kong turun ke jalan, menuntut pemilu langsung pada 2017. Sementara orang-orang tua sepertinya cenderung pada Beijing.

Aksi ini mengingatkan kita pada apa yang terjadi di Amerika Serikat pada 2011 lalu. Saat itu, di Amerika muncul Occupy Wallstreet, sebuah gerakan perlawanan terhadap kapitalisme.

Di Hong Kong berkembang gerakan Occupy Central, aksi melawan totalitarianisme.

Kedua gerakan ini punya misi yang hampir sama, yaitu protes yang menarik perhatian internasional demi mewujudkan keadilan ekonomi dan politik.

Walau awalnya demonstrasi di Hong Kong cukup besar, namun massa pro-demokrasi terlihat mulai melemah. Ini karena pemerintah Tiongkok juga banyak bermain.

Ada peribahasa Tionghoa, 'Jin Qian Wan Neng' yang artinya 'uang punya kuasa untuk segalanya'. Pemerintah pusat dalam hal ini memainkan uang untuk menciptakan kekuatan yang cukup besar.

Hal serupa Sebenarnya juga terjadi di Taiwan. Sebulan sekali, pemuda berdemo di depan gedung parlemen, memprotes hubungan yang terlalu dekat dengan pemerintah Beijing.

Hal ini menunjukkan, walau gerakan anti-Beijing sudah melemah, namun semangat ini tidak pernah benar-benar hilang, terus dibakar di Hong Kong maupun di Taiwan.

Apalagi, pelakunya adalah para pemuda mahasiswa dan pelajar yang semangatnya masih akan bertahan lama kendati Beijing berada di atas angin.

Dalam konteks ekonomi, protes ini tidak akan banyak berpengaruh pada pemerintahan pusat karena kini peran Hong Kong sebagai pusat ekonomi sudah dibagi dengan Shanghai.

Tiongkok memang masih membutuhkan Hong Kong, tapi kebutuhannya tidak sebesar dulu lagi.

Ke depan, Tiongkok akan terus menuntut Hong Kong mengikuti kebijakan mereka. Masalahnya adalah mampu atau tidak Partai Komunis mempertahankan kekuasaan yang mereka pegang saat ini.

Pasalnya sekarang, walau kecil, sudah mulai tumbuh semangat-semangat demokrasi di Tiongkok Daratan, salah satunya muncul di internet--agen penting tumbuhnya demokrasi.

Tiongkok memang menganggap bahwa ekonomi berperan lebih penting untuk kemajuan negara ketimbang demokrasi, seperti halnya Jepang, Korea dan Taiwan.

Tapi pertumbuhan ekonomi juga akan membentuk kelas menengah. Dari pengalaman sejarah, kelas menengah inilah yang akan menuntut demokrasi.

Skenario ini mungkin saja terjadi di Tiongkok. Tapi mengingat negara ini punya populasi 1,4 miliar manusia, prosesnya mungkin butuh waktu lama. Ditambah lagi, upaya Partai Komunis untuk mempertahankan kekuasaan akan jadi penjegal utama.

Namun proses ini bisa saja terjadi dengan lebih cepat jika muncul organisasi yang kekuatannya bisa menandingi partai tersebut.

Itulah sebabnya, Partai Komunis selalu khawatir jika ada organisasi yang berpotensi membangun kekuatan besar di negara itu. Dan Partai ini tahu betul bagaimana cara untuk mencegah munculnya pesaing.

Salah satunya adalah dengan diterapkannya demokrasi terpimpin. Suara hanya ditentukan secara internal di partai, bukan oleh rakyat.

Yang terjadi saat ini di Tiongkok adalah, pemerintah menyuap rakyat dengan perekonomian yang maju, seakan berkata: "Jangan coba-coba mengusik pemerintah komunis. Jangan harap ada demokrasi liberal seperti di Barat."

--------------------------

Abdullah Dahana adalah Guru Besar Studi Tiongkok di Universitas Bina Nusantara
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER