Mengapa Beijing Cari Masalah di Hong Kong

CNN Indonesia
Rabu, 03 Sep 2014 13:28 WIB
Tiongkok memperbolehkan Hong Kong menggelar pemilu untuk menentukan pemimpin baru pada 2017, tapi kandidatnya haruslah yang disetujui oleh pemerintah pusat.
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Tahun 2012 lalu, Tiongkok mengumumkan bahwa Hong Kong akan bisa memilih kepala eksekutif wilayah itu melalui "pemilihan yang universal."

Sebelumnya, pemimpin Hong Kong dipilih oleh komisi pemilihan umum yang beranggotakan 800 hingga 1.200 orang, kebanyakan loyalis Beijing.

Perkembangan yang terjadi adalah ternyata Beijing menyusun prosedur untuk memastikan pemimpin Hong Kong berasal dari kubu mereka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal janji China tahun 2012 itu telah membangkitkan harapan bahwa pemimpin Hong Kong berikutnya akan dipilih melalui pemilihan umum yang benar-benar demokratis.

Tapi harapan ini sirna, dan China telah memicu ketidakstabilan di wilayah melalui prosedur baru itu.

Kendali Beijing

Pada 31 Agustus Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional Tiongkok mengumumkan keputusan soal prosedur pemilihan umum pemimpin Hong KOng berikutnya.

Jika keputusan ini disetujui, Hong Kong akan melakukan pemilihan universal, dalam arti warga yang layak memilih akan menentukan sendiri pemimpin mereka melalui pemilihan umum bukan lagi ditentukan oleh komisi pemilihan umum.

Tapi Beijing masih punya kendali besar dengan menerapkan batasan bagi kandidat calon pemimpin.

Beijing menegaskan bahwa kandidat pemimpin Hong Kong akan dipilih oleh komisi pencalonan (bukan oleh partai politik atau pilihan populer).

Dan kejutannya adalah: komisi pencalonan ini modelnya sama seperti komisi pemilihan yang lama.

Anggota komisi pencalonan adalah para pendukung Beijing yang menginginkan ketertiban dan tidak ingin pertumbuhan ekonomi Hong Kong terganggu oleh kisruh politik.

Sebagai tambahan, lebih dari setengah anggota komite pencalonan harus menyetujui setiap kandidat, artinya tidak ada pendukung demokrasi yang bisa lolos dari saringan para pendukung Beijing ini.

Berdasarkan rencana di atas, pemilih di Hong Kong memang akan punya pilihan pemimpin, tapi pegiat demokrasi menduga kandidat pemimpin pilihan mereka nantinya adalah dua atau tiga orang kandidat yang punya isi kepala sama dengan Beijing.

Apakah Akan Disetujui?

Sistem baru ini ada kemungkinan tidak bisa terwujud karena harus melalui persetujuan sekitar dua pertiga anggota dewan Hong Kong.

Jika anggota dewan yang mendukung demokrasi bersatu, maka skema dari Beijing itu bisa diveto. Namun ini artinya prosedur pemilihan pemimpin akan kembali seperti dulu, sistem "lingkaran kecil". Ini sama saja tragedi.

Kompromi yang mungkin saja dilakukan Beijing adalah melakukan demokratisasi proses nominasi sehingga menciptakan pemilu yang kompetitif dan menyajikan pilihan; kandidat pro-Beijing dengan pro-demokrasi. Itu cara yang sekiranya bisa mendapatkan persetujuan dua pertiga anggota dewan.

Dalam jangka pendek, Hong Kong menghadapi potensi gangguan besar, karena kubu pro-demokrasi yang kian radikal dalam mendesak nominasi kandidat melalui petisi warga kini mengancam akan melakukan kampanye "Occupy Central", atau pendudukan pusat bisnis utama, melalui demonstrasi besar-besaran dan pembangkangan.

Memang rencana kelompok radikal ini selalu tidak realistis dan terkadang mubazir dalam menuntut pemilu yang demokratis.

Pasalnya, polisi Hong Kong selalu mampu mengendalikan protes mereka (belum lagi, Pasukan Pembebasan Rakyat yang bersiaga).

Tapi apa pun taktik dan tujuan dari Occupy Central, gerakan ini telah memberikan suara pada aspirasi rakyat kebanyakan yang haus demokrasi sejati dan menunjukkan kemarahan pada kakunya Beijing.

Kenapa cari masalah?

Mengapa Tiongkok memilih langkah ini?

Pertama, pemerintah pusat khawatir jika orang pro-demokrasi yang memerintah Hong Kong akan menggunakan kepemimpinannya sebagai alat untuk menggoyang pemerintahan Partai Komunis di seluruh Tiongkok.

Kedua, Tiongkok meyakini massa pro-demokrasi adalah alat Amerika Serikat dan Inggris untuk sebuah tujuan. (Dua kekhawatiran ini tidak berdasar tapi Beijing meyakininya).

Ketiga, Tiongkok dan para pengusaha Hong Kong yang dekat dengan pemerintah pusat khawatir pemilu demokratis akan meningkatkan tuntutan masyarakat akan program kesejahteraan yang memakan biaya.

Keempat, ada kemungkinan berlanjutnya demonstrasi jika massa pegiat demokrasi di Hong Kong berpikir bahwa Beijing selalu menarik kembali keputusan mereka setelah muncul protes besar.

Terakhir, pemimpin Tiongkok khawatir penerapan demokrasi murni di Hong Kong akan memicu tuntutan serupa dari wilayah-wilayah lain di seluruh negeri.

Masalah Kian Parah?

Pada akhirnya Beijing memilih kepastian mereka bisa mengendalikan kepemimpinan di Hong Kong dengan mengatur proses nominasi kandidat pemimpin eksekutif.

Tujuan itu sepertinya akan tercapai, tapi harga yang harus dibayar adalah ketidakstabilan dan rasa frustrasi di tengah masyarakat terus terjadi.

Pemilihan universal yang seutuhnya memang tidak bisa menyelesaikan seluruh masalah pemerintah di tengah masyarakat yang kian terpolarisasi dan tidak setara.

Tapi tanpa pemilihan umum sejati untuk memilih pemimpin Hong Kong yang sah, menyelesaikan masalah ini akan mustahil.

---------------

Richard C. Bush adalah dosen senior dan direktur Pusat Studi Kebijakan Asia Timur di Brookings Institution. Dia menulis banyak buku hubungan internasional Asia dan saat ini tengah menggarap buku soal masa depan Hong Kong.
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER