KEKUATAN MILITER

Adu Kuat Pertahanan Asia

CNN Indonesia
Selasa, 09 Sep 2014 12:59 WIB
Pertahanan laut menjadi penting bagi negara-negara Asia yang bergantung pada impor. Tidak heran, mereka kini berlomba-lomba memperkuat persenjataan laut untuk menghadapi ancaman.
Baru-baru ini Vietnam memesan enam kapal selam Rusia untuk menjaga perbatasan laut mereka.
Jakarta, CNN Indonesia -- Adu canggih persenjataan masih terus gencar dilakukan oleh negara-negara di Asia, menjadikan wilayah ini sebagai negara pengimpor alat utama sistem persenjataan, alutsista, terbesar di seluruh dunia.

Baru-baru ini Vietnam memborong enam kapal selam tipe HQ-182 Kilo-class buatan Rusia yang akan didatangkan secara bertahap dalam dua tahun ke depan.

Saat ini sudah dua dari kapal selam berbobot 2.300 ton itu yang sandar di pelabuhan Cam Ranh Bay Vietnam, satu unit lagi masih di St Petersburg dan akan dikirim November, satu unit lainnya masih dalam tahap uji coba di galangan kapal Admiralty Shipyard, sementara dua lainnya dalam tahap pembuatan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

HQ-182 adalah kapal selam pertama Vietnam yang dibeli berdasarkan kesepakatan tahun 2009 dari Rusia dengan nilai US$2,6 miliar atau sekitar Rp30,5 triliun.

Kapal selam ini punya enam tabung peluncur peluru kendali atau rudal supersonic SS-N-27 yang bisa ditembakkan dengan suara hening, tidak heran perangkat militer ini dijuluki "lubang hitam" oleh Angkatan Laut Amerika.

Pembelian kapal selam oleh Vietnam dilakukan untuk memperkuat pertahanan mereka di tengah ancaman yang semakin nyata dari Tiongkok yang meningkatkan anggaran pertahanan mereka hingga 12,2 persen, menjadi hampir US$132 miliar.

Tidak hanya Vietnam, negara lain di Asia seperti Korea Utara, Iran dan Tiongkok juga mengimpor kapal selam dari Rusia. Bahkan Tiongkok telah memproduksi sendiri modifikasi dari Kilo-class yang dikenal dengan kapal selam tipe 41 Song-class.

Menurut situs The Week, Saat ini Tiongkok telah memiliki 10 kapal selam Kilo yang telah ditingkatkan kekuatannya dan tahun lalu Beijing memesan empat kapal selam Rusia lainnya, Lada-class.

India sendiri telah memiliki 10 kapal selam Kilo yang dibeli sejak tahun 1980an.

Malaysia telah membeli dua kapal selam. Korea Selatan meningkatkan pasukan bawah lautnya hingga dua kali lipat, Jepang meningkatkan hingga lebih dari sepertiga.

Sementara Thailand baru membangun pangkalan kapal selam tanpa ada armada.

Indonesia saat ini tengah merakit kapal selam diesel-listrik Chang-Bogo Class yang diperkirakan rampung tahun 2018, targetnya adalah 12 kapal selam, seperti diulas di IHS Jane's Defence Weekly Februari lalu.

Indonesia sendiri punya empat kapal perang four Sigma-class corvettes, dua kapal fregat Sigma-class, tiga kapal selam buatan Korea Selatan, dan puluhan kapal patroli dengan peluru kendali.

China bahkan telah mengoperasikan kapal induk Liaoning pada 2012, dan saat ini tengah membangun kapal fregat, penghancur dan amfibi.

Singapura tengah memproduksi delapan kapal perang Littoral Mission Vessels yang diperkirakan rampung 2016. Sementara Malaysia telah menandatangani kontrak US$2,8 miliar untuk enam kapal fregat Gowind-class yang dirakit oleh perusahaan Prancis di galangan kapal Malaysia.

Thailand tidak ingin ketinggalan dengan membeli kapal penghancur KDX-class dari Korea.

Pengeluaran untuk pertahanan di Asia yang besar berbanding terbalik dengan Barat yang mengurangi anggaran militer mereka.

Tahun 2013, belanja militer Asia meningkat 3,6 persen menurut Stockholm International Peace Research Institute, SIPRI, atau 62 persen meningkat dalam satu dekade terakhir.

Pada tahun 2012, untuk pertama kalinya Asia mengungguli Eropa untuk belanja militer.

Tiongkok menyumbang porsi terbesar dalam total belanja militer Asia, meningkat 170 persen pada 10 tahun terakhir. Tahun ini, Tiongkok mengumumkan akan meningkatkan anggaran pertahanan mereka hingga 12,2 persen.

Penjualan terbesar datang dari Jepang, Korea Selatan dan Australia untuk armada jet tempur F-35 buatan Amerika Serikat. Sistem pertahanan rudal jarak-jauh AS juga laku dijual di Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.

Total antara tahun 2009 dan 2013, Australia dan Korsel adalah pelanggan persenjataan terbesar AS.

Dengan berlimpahnya pesanan senjata dari Asia, menjadi wilayah ini sebagai pengimpor senjata terbesar di dunia.

Menurut laporan SIPRI yang dikutip situs Deutsche Welle Maret lalu, dalam lima tahun terakhir ada lima negara di Asia yang jadi pengimpor terbesar senjata, yaitu India, Tiongkok, Pakistan, Korea Selatan dan Singapura.

India adalah penerima senjata terbesar dunia dengan porsi 10 persen dari impor militer global, disusul Korea Utara, enam persen, Pakistan, lima persen, Tiongkok, lima persen dan Singapura, empat persen.

Sementara lima pemasok senjata terbesar dunia pada 2007-2011 adalah Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Prancis dan Inggris.

Tiongkok digeser Pakistan sebagai pengimpor senjata terbesar karena Beijing tengah giat memproduksi alutsista di dalam negeri.

Perlombaan senjata Asia kini mengarah pada kekuatan laut, mengingat banyak negara-negara di kawasan ini yang bergantung pada perkapalan untuk mengimpor sumber daya alam dan barang-barang lainnya.

Jepang, contohnya, yang mengimpor 96 persen kebutuhan energi mereka, Korea Selatan mengimpor 90 persen pangan, menjadikan laut sangat vital bagi kelangsungan hidup rakyat.

Tiongkok yang sebelumnya mengandalkan kekuatan darat mulai memperkuat pertahanan laut mereka, karena negara ini mulai bergantung pada pengiriman minyak dari Timur Tengah, bahan mentah dari Afrika dan Australia, dan ekspor barang-barang lainnya ke banyak negara.

Pertahanan laut juga penting bagi negara-negara Asia terkait sengketa memperebutkan wilayah Laut China Selatan yang diyakini kaya minyak dan gas.

Di Laut China Selatan, Tiongkok berseteru dengan Taiwan, Thailand, Singapura, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei dan Indonesia. Sementara di Laut China Timur, Tiongkok berebut pulau Diaoyu dengan Jepang yang menyebutnya Senkaku.

"Banyak ancaman di Asia. Ada perebutan wilayah, jadi situasinya tidak pasti di kebanyakan wilayah ini," kata ahli Asia dari SIPRI, Siemon Wezeman.

Wezeman mengatakan adu canggih senjata di laut tidak akan bisa mengurangi konflik atau gesekan yang mungin timbul, selama tidak ada saling kesepahaman dan kode etik keamanan.

"Pembelian sistem militer canggih di Asia Timur - wilayah yang kurang memiliki mekanisme keamanan - meningkatkan risiko konflik dan eskalasi yang tiba-tiba," kata dia.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER