Pusat Penelitian dan Studi Perdamaian Stockholm, SIPRI, menyebut India, Uni Emirat Arab, Tiongkok, Saudi Arabia, Azerbaijan, Indonesia, Pakistan dan Amerika Serikat adalah negara di dunia yang masuk daftar itu.
Antisipasi untuk mengatasi konflik teritori serta menjaga kedaulatan negara menjadi alasan utama negara-negara tersebut membeli persenjataan.
Teritori laut di Asia kini seakan menjadi "rebutan", contohnya dalam kasus Laut Cina Selatan, karena aktifitas perekonomian negara-negara di kawasan tersebut bergantung oleh jalur laut.
Tiongkok yang memiliki anggaran pertahanan sebesar AS$131 miliar kini terlibat sengketa wilayah di Laut Cina Selatan dengan sejumlah negara Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara Indonesia sedang berusaha memperbaiki sistem pertahanannya dengan menaikkan anggaran militer setiap tahun, bahkan Presiden Terpilih Joko Widodo berencana meningkatkan anggaran itu 20 kali lipat dari AS$2 miliar yang dialokasikan untuk tahun 2014.
Peralatan militer yang laris dibeli adalah misil, senjata mesin, pesawat, kapal dan sistem elektronik penunjang kegiatan militer.
Tidak hanya menjadi pembeli, beberapa negara juga bertindak sebagai penjual untuk negara lain.
Data SIPRI pada tahun 2013 menunjukkan bahwa negara Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Tiongkok dan Perancis masuk ke dalam daftar negara produsen kebutuhan militer terbesar di dunia.
Rusia, yang awal Februari 2014 baru saja menandatangani kontrak jual beli senjata dengan Mesir senilai AS$2 milyar, saat ini menjadi pemasok 75% senjata ke India, sementara AS hanya memasok sebanyak 7%.
Sedangkan Tiongkok, menjadi pemasok senjata utama di Asia Selatan. Tiongkok mengimpor 54% senjata ke Pakistan dan 82% senjata ke Banglades.
Siemon Wezeman, peneliti senior di SIPRI mengatakan bahwa aksi Tiongkok, Rusia dan AS menjadi senjata ke Asia Selatan ialah berdasarkan pertimbangan ekonomi dan politik.
“Secara khusus, Tiongkok dan AS menjual senjata sekaligus untuk merebut pengaruh negara-negara di kawasan tersebut agar mau bersekutu,” katanya seperti yang dikutip dari artikel International Business Time pada Maret lalu.
Kelesuan jual beli senjata juga pernah terjadi pada tahun 2012.
Hal tersebut dikarenakan pemerintah AS menarik pasukan mereka dari Irak dan Afganistan ditambah Eropa Barat yang mengurangi anggaran belanja militer mereka.
Padahal selama ini kedua negara besar tersebut merupakan pasar utama penjualan sejata militer.
Meskipun melemah, namun bisnis ini ternyata masih bernilai besar.
Seratus perusahaan senjata swasta di dunia mencatat keuntungan total AS$395 miliar pada tahun 2012.
Perusahaan senjata swasta paling besar asal AS, Lockhead Martin bahkan menyumbang penjualan sebesar AS$36 miliar di tahun tersebut.
“Tahun 2012 di AS dan Eropa Barat memang sedang sepi pembeli, tapi banyak negara berkembang, terutama di Asia, yang melakukan pembelian,” kata Direktur SIPRI, Dr. Samuel Perlo-Freeman.