KOLOM

Umat Yahudi Akan Selalu Cemas

CNN Indonesia
Kamis, 11 Sep 2014 15:14 WIB
Tujuh puluh tahun setelah pembunuhan massal umat Yahudi di Jerman, sentimen anti-Yahudi di berbagai negara di Eropa, membuat umat Yahudi cemas.
Tujuh puluh tahun setelah peristiwa Holocaust, banyak Yahudi di Eropa yang tak lagi merasa aman.
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
CNN Indonesia -- Rekan sesama umat Yahudi sering mempertanyakan seberapa hebat diskriminasi anti-Yahudi saat ini dengan nada cemas seakan-akan peristiwa Holocaust yang terjadi pada 1939 lalu akan terulang kembali.

Menurut saya, kecemasan itu terlalu berlebihan. Diskriminasi terhadap kaum Yahudi saat ini belum seburuk pembantaian massal yang terjadi dekade 1930an yang melibatkan tentara militer dari berbagai negara.

Namun, saya akui sentimen anti-Yahudi melalui berbagai aksi protes berpotensi untuk semakin meluas, sehingga umat Yahudi jangan berfikir terlalu optimistis.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bulan lalu, misalnya, aksi demonstrasi pro-Gaza di Kurfurstendamm, Berlin dipenuhi slogan bertuliskan, "Yahudi: babi yang penakut!" .

Kalimat serupa juga terlihat pada aksi demonstrasi di Dortmund dan Frankfrut yang berisi yel-yel seperti “Hasmas, ayo basmi Yahudi!”.

Aksi protes yang lebih tajam terjadi pada Hari Nasional Perancis, ketika polisi harus mengamankan keadaan ketika kelompok Yahudi Perancis terpaksa terkurung di dalam rumah ibadat, atau sinagog karena terkepung pendukung Palestina.

Sentimen anti-Yahudi bukan hanya terlihat melalui aksi protes, tetapi telah melebar menjadi aksi radikal, seperti kasus penembakan yang menewaskan emat orang Yahudi di Museum Brusel.

Sentimen anti Yahudi juga menyinggung sektor ekonomi ketika terjadi aksi boikot 50 perusahaan yang dimiliki oleh umat Yahudi di Roma.
Sangat mudah jika mengkaitkan semua sentimen anti Yahudi ini dengan penyerangan masif Israel ke ke Jalur Gaza.

Namun aksi diskriminasi dan sentimen terhadap umat Yahudi sebenarnya telah terjadi berulang kali, bahkan sebelum Israel menyerang Palesina.

Aksi radikal lain, yaitu penyerangan ke sekolah Yahudi di Toulouse, Perancis, yang mengakibatkan empat orang tewas pada Maret 2012 lalu.

Pada Desember 2012 lalu, pejabat Israel memperingatkan umat Yahudi untuk tidak memakai topi ibadah mereka sebelum mereka tiba di sinagog.

Sikap ini menjelaskan bahwa umat Yahudi terpaksa harus menyembunyikan tanda keagamaan mereka di ruang publik.

Berbagai kasus penyerangan ini bukanlah retorika, melainkan representasi kemarahan dunia akan sikap Israel dan kebencian terhadap Yahudi.

Saya menilai serangan ini juga tidak menjelaskan kemarahan pemuda Islam, meskipun survei menunjukkan bahwa 95 persen aksi anti-Yahudi di Eropa dilakukan oleh keturunan Arab dan Afrika.

Sentimen anti-Yahudi saat ini berbeda dengan yang terjadi pada dekade 1930an lalu, yang berasal dari fanatisme ajaran agama Kristen.

Sentimen anti Yahudi saat ini didasari rasa antipati terhadap non-Muslim, yang dibalut oleh fanatisme Kristiani yang dibawa ke Timur Tengah oleh para misionaris Eropa.

Sentimen anti-Yahudi juga tergambar pada Penjajian Hamas yang berkaitan dengan Protokol Para Tetua Zionis yang dipalsukan oleh polisi tsar Rusia di 1903 dan disebut sebagai propaganda nazi.

Perjanjian itu menuduh Yahudi membentuk organisasi rahasia yang memicu krisis ekonomi dunia dan perpolitikan internasional.

Saya juga amat menyayangkan sikap para elit Eropa hanya bungkam ketika juru bicara Hamas mengungkapkan bahwa Yahudi menggunakan darah anak non-Yahudi untuk membuat roti matzos, roti tradisional Yahudi.

Tujuh puluh tahun setelah peristiwa Holocaust, banyak Yahudi di Eropa yang tak lagi merasa aman.

Di banyak negara, tempat ibadah sinagog banyak dijaga polisi. Mereka bahkan menyewa penjaga bersenjata untuk mengawal mereka pergi ke tempat peribadatan.

Pemimpin budaya, spiritual dan akademisi Yahudi harusnya tidak hanya mencemaskan wagra Yahudi di sekitar mereka saja, namun juga mencemaskan masa depan kaum Yahudi seluruhnya.

Peristiwa Holokus mungkin tidak akan terulang. Tetapi ini saatnya siapapun yang berfikiran terbuka, demokratis, menghargai kebebasan dan multikultur ikut merasa cemas dan melakukan tindakan nyata.

Deborah E. Lipstadt adalah seorang profesor sejarah Yahudi dan ilmu Holocaust di Universitas Emory dan penulis buku 'The Eichmann Trial'.
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER