Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Perang Dunia I menghantarkan kita pada masa-masa penggunaan senjata kimia yang hingga kini masih berlangsung dan sama mematikannya.
Serangan klorin tentara Jerman terhadap pasukan Prancis, Aljazair, Inggris dan Kanada di sekitar Ypres --tempat terjadinya pertempuran paling sengit-- pada April 1915, seakan meramalkan senjata pemusnah massal ini akan menjadi penyebab ketakutan berjangka waktu lama dan seringkali jadi sumber teror yang mengerikan.
Perang Dunia I, yang dimulai hampir 100 tahun lalu, mengawinkan ilmu pengetahuan dengan pembunuhan massal dan telah menciptakan preseden, walaupun sebelumnya telah ada kesepakatan untuk mencegah penggunaannya, salah satunya melalui Konvensi
Den Hag tahun 1900.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Negara-negara peserta Perang Dunia I dengan cepat mengembangkan campuran senyawa serupa dan teknologi serta prosedur perlindungan dari senjata kimia.
Mungkin ada satu juta kasus kecelakaan saat membuat senjata kimia pada saat itu dan jumlah ini kecil jika dibandingkan keuntungan yang diperoleh militer secara keseluruhan.
Walaupun jumlah kematian akibat senjata kimia dalam Perang Dunia I relatif rendah, total 90 ribu orang, tetap ada ketakutan mendalam akan kematian secara perlahan dan menyiksa akibat kerusakan jaringan kulit yang terbakar oleh gas mustard atau paru-paru yang tenggelam akibat cairan yang membanjir.
Mereka yang selamat akhirnya menjadi buta atau cacat permanen, sementara trauma, ketakutan, fobia akan gas, dan konsekuensi psikis jangka panjang lainnya sulit dikalkulasi.
Serangan senjata kimia pada Perang Dunia I bisa jadi memicu kegilaan Hitler yang saat itu terbaring di rumah sakit militer saat gencatan senjata, buta sementara akibat mustard gas yang ditembakkan Inggris.
Kemudian, pada Protokol Gas Jenewa pada 1925, dunia mencoba mengatasi masalah senjata pemusnah massal ini melalui perjanjian kolektif untuk "tidak memulai menggunakan kimia atau bakteri", didukung dengan pengendalian gudang senjata, diharapkan mampu mengatasi ancaman dari negara-negara yang mencoba balas dendam.
Namun riset-riset rahasia masih dilakukan untuk menciptakan gas syaraf yang lebih efektif, salah satunya pada pemerintahan Saddam Hussein tahun 1980an dan digunakan untuk melawan Iran dan Kurdi tanpa adanya respon internasional.
Masa-masa "bulan madu" setelah Perang Dingin memungkinkan adanya negosiasi pemusnahan yang total dan terpantau dari seluruh persediaan senjata kimia dan fasilitas pembuatnya berdasarkan Konvensi Senjata Kimia tahun 1998.
Tapi Perang Dunia I dan masa-masa setelahnya telah meninggalkan preseden yang menakutkan.
Walau dilarang berdasarkan Traktat Versailles tahun 1919, namun Jerman diam-diam masih memiliki kapasitas senjata kimia yang dahsyat dan para ahli mereka membentuk fasilitas riset dan ujicoba gabungan di Uni Soviet dan menjadi pionir seluruh jenis agen syaraf.
Cara ini -mengakali traktat pengendalian senjata, terutama dengan bantuan pihak ketiga- telah menjadi ketakutan politik dan prioritas intelijen sejak itu.
Kita juga tahu bahwa selama Perang Dunia I, agen mata-mata Jerman secara sistematis mencoba menginfeksi ternak-ternak milik petani di negara Sekutu dengan glander (bakteri berbahaya yang menular di antara manusia, kebanyakan menjangkiti kuda dan keledai). Beruntung aksi itu tidak berjalan sukses.
Namun yang paling berbahaya dari aksi itu adalah lahirnya perang biologi dan ilmu pengetahuan yang saat ini menjadi mimpi buruk sistem keamanan.
Setelah 1.400 orang terbunuh dengan gas sarin yang menyerang syaraf di wilayah yang dikuasai pemberontak di pinggiran Damaskus Agustut tahun lalu, pemerintah Suriah sepakat untuk bergabung dengan Konvensi Senjata Kimia tahun 1998 dan siap bekerja sama untuk memusnahkan senjata mereka, agar selamat dari serangan Amerika.
Sebelum senjata kimia Suriah rampung dimusnahkan, banyak laporan muncul di awal 2014 soal penggunaan klorin, bahan kimia industri yang digunakan untuk memurnikan air di banyak negara, dan dilarang untuk menggunakannya terhadap manusia.
Tingkat kematian akibat klorin terhadap warga sipil yang tidak terlindungi, mungkin sangat kecil menurut standar modern saat ini, namun tetap saja bahan kimia ini mengerikan.
Peran Jerman dalam serangan gas di Flanders, Belgia, 100 tahun lalu sangat terang, namun untuk kasus Suriah kali ini PBB masih belum mencapai kesepakatan, atau bahkan secara resmi menyelidiki, kubu mana yang menggunakan senjata kimia di perang saudara Suriah.
Perang kimia secara universal dikriminalkan pada September tahun lalu di bawah Resolusi Dewan Keamanan PBB 2118. Namun memusnahkan atau bahkan menghukum para pengguna senjata kimia adalah masalah diplomatik dan juga hukum, teknis serta militer.
Ternyata, perilaku internasional terhadap pembunuhan dengan senjata kimia masih sama beracunnya seperti tahun 1915.
----
Paul Schulte, Professor di Institut Konflik, Kerja Sama dan Keamanan Universitas Birmingham. Mantan direktur pengendalian dan proliferasi senjata di Kementerian Pertahanan Inggris dan komisaris perlucutan senjata PBB untuk Irak.