Jakarta, CNN Indonesia --
Badan Pengungsi PBB, UNHCR, menyatakan bahwa sejak tahun 2012 terdapat 87 ribu imigran gelap yang mempertaruhkan nyawa untuk bermigrasi dengan menggunakan moda transportasi kapal laut di kawasan Asia Pasifik.
Laporan yang bertajuk 'Irregular Maritime Movements 2014' itu juga menulis para imigran gelap berasal dari daerah-daerah konflik, seperti Myanmar.
Saat ini di Myanmar memang terjadi konflik antar agama yang mengakibatkan suku Rohingya yang beragama Islam tersudut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kapal laut yang beroperasi tidak hanya mengangkut pengungsi karena pencari suaka dari Nauru dan Papua Nugini juga kerap menggunakan moda transportasi ini.
Negara tujuan para imigran gelap ini antara lain Malaysia, Thailand, Australia dan Indonesia.
Mereka yang berangkat dari Banglades atau Myanmar melewati Teluk Bengal dan Laut Andaman untuk menuju perbatasan Malaysia atau Thailand.
Yang berangkat dari Asia Tenggara, Asia Selatan dan Indonesia melewati Samudera Hindia untuk menuju Australia.
Sedangkan yang berlayar dari Malaysia melewati Selat Malaka untuk menuju Indonesia.
Ledaksan imigran gelap tidak hanya terjadi di kawasan Asia.
Akibat konflik berkepanjangan di Timur Tengah, krisis ekonomi dan kesehatan di Afrika, saat ini kawasan Eropa juga menjadi tujuan mereka.
Lebih dari 75 ribu imigran gelap dari Libya, Suriah, Palestina, Mesir dan Sudan mendatangi Italia, Yunani, Spanyol dan Malta setelah berlayar melalui Laut Mediterania sejak tahun 2013.
Bayaran mahal untuk kebebasanPara imigran gelap membayar mahal untuk kebebasan mereka.
UNHCR melaporkan bahwa pengungsi dari Banglades dan Myanmar harus membayar US$50 hingga US$300 untuk menumpang kapal kecil milik penyelundup manusia.
Para penyelundup memaksakan 700 orang naik kapal kecil setiap kali berlayar selama dua minggu, sementara perlakuan yang diterima pun tidak manusiawi.
Sesampainya di Thailand, para pengungsi masih harus membayar US$1,500 hingga US$2,200 untuk bisa dibebaskan.
Kalau biaya tersebut tidak dibayar, mereka kemudian dijual seharga US$150 untuk menjadi pekerja kasar dengan "kontrak" selama tiga bulan.
Biaya mahal juga harus dibayar oleh para pengungsi dari Suriah, Palestina, Mesir dan Sudan yang menuju italia.
Perwakilan dari Organisasi Imigran Internasional (IOM), Flavio Di Giacomo, mengatakan bahwa 700 pengungsi yang kapalnya tenggelam di Laut Mediterania pada Selasa (16/09) harus membayar sekitar US$2,000 hingga US$4,000 untuk berlayar menggunakan kapal seadanya.
Pengungsi yang sudah membayar tidak lantas naik perahu untuk berlayar selama seminggu.
Mereka harus menyusuri terowongan gelap berjarak ratusan meter di perbatasan Rafah agar tidak tertangkap oleh tentara Mesir.
Sesampainya di ujung terowongan, baru ada bus yang mengantar mereka ke Pelabuhan Said.
"Tapi biaya lain masih terus diminta oleh penyelundup saat di atas kapal. Seperti biaya jaket pelampung yang seharga US$50 hingga US$100," kata Di Giacomo.
Kebebasan tidak hanya dibayar dengan uang, faktor eksploitasi juga menjadi mata uang uang tidak resmi bagi para penyelundup.
Sebuah tulisan dari media di London pada tahun 2005 mengatakan bahwa gadis pengungsi berusia 13 hingga 18 tahun di Afrika Barat, Sierra Leone, Guinea dan Liberia "dijual" oleh keluarganya kepada penyelundup untuk ditukar dengan uang, buah-buahan bahkan sebatang sabun.
Meskipun kondisi mengungsi semakin parah, namun masih banyak saja pengungsi yang nekat melakukannya.
Media Israel menulis pengakuan seorang calon pengungsi yang menyatakan bahwa ia masih berniat mengungsi walaupun telah mendengar berita tenggelamnya 500 pengungsi kemarin.
"Orang yang sudah mengungsi mengatakan bahwa kondisi di Eropa lebih baik, oleh karena itu saya akan tutup mata mengenai kejadian tersebut," katanya.