ahkamah Agung Korea utara pada Minggu (14/9) menjatuhkan hukuman kerja paksa selama enam tahun kepada seorang warga Amerika Serikat atas "tindakan agresif" yang dilakukannya di negara tersebut.
Dalam wawancaranya dengan CNN bulan ini pria berusia 24 tahun ini mengatakan dia memang "mempersiapkan diri melanggar peraturan di DPRK (Republik Rakyat Demokrasi Korea - nama resmi Korut), dengan sengaja melakukan kejahatan."
Kantor berita Associated Press menyebutkan bahwa jaksa penuntut mengatakan pria itu memiliki "ambisi liar" untuk menghabiskan waktu di penjara Korut guna mencari tahu soal pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di negara itu.
KCNA menayangkan rekaman gambar yang memperlihatkan penampilan suram Miller dengan pakaian hitam dan celana hitam, duduk dan berdiri di ruang sidang didampingi oleh dua penjaga berseragam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebuah foto dari meja bukti menunjukkan visa Miller yang sudah robek serta paspor Amerika Serikat miliknya, komputer tablet dan ponsel pintar.
Dua Warga AS Lain
Sebelum Miller, terdapat dua warga AS lain telah ditahan yaitu Kenneth Bae dan Jeffrey Fowle.
Bae, pria keturunan Amerika-Korea Selatan, divonis 15 tahun kerja paksa setelah dituduh sebagai misionaris Kristen radikal yang mencoba menggulingkan rezim Korea Utara.
Tuduhan yang sama dialamatkan pada Fowle yang tertangkap pada April lalu setelah meninggalkan Alkitab di sebuah hotel di Korut. Persidangan Fowle sudah diumumkan, namun pelaksanaannya belum ditentukan.
Washington yang tidak memiliki hubungan diplomatis dengan Pyongyang biasanya mengirimkan mantan presiden untuk membebaskan warga mereka, seperti Bill Clinton dan Jimmy Carter beberapa waktu lalu.
Pengamat mengatakan persidangan Miller adalah bagian dari upaya Pyongyang untuk menarik perhatian Amerika Serikat dan melawannya di meja perundingan terkait upaya Barat melucuti senjata nuklir rezim Kim Jong-un.
"Korea Utara mungkin mengetahui bahwa AS sangat sibuk dengan krisis besar di Timur Tengah dan wilayah lain. Namun, apa yang Korea Utara miliki? Ini yang disebut diplomasi tahanan yang kemudian menjadi satu-satunya cara mereka untuk menarik perhatian AS," ujar Yang Moo-jin, profesor Universitas Seoul Studi Korea Utara.
Beberapa bulan terakhir ini Korea Utara berusaha mendorong AS menyetujui hasil pertemuan enam partai dalam program nuklir Korea Utara, namun Washington bersikeras meminta Pyongyang untuk terlebih dulu menunjukkan komitmen nyata untuk denuklirisasi.
"Walaupun ada pejabat senior yang pergi ke Korea Utara, sangat tidak mungkin pemerintahan Obama akan menggunakan kunjungan tersebut untuk membahas hal-hal terkait nuklir," kata Scott Snyder, direktur kebijakan Amerika Serikat-Korea di Dewan Hubungan Internasional.
Pelanggaran HAM
Sidang Miller digelar sehari setelah Korea Utara mempublikasikan bantahan atas "pandangan menyimpang" yang terdapat di laporan komisi HAM khusus PBB soal pelanggaran-pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Bantahan tersebut dibuat oleh Asosiasi untuk Pembelajaran Hak Asasi Manusia milik Korea Utara yang mengatakan rakyat Korea Utara terlindungi hak asasinya dan kesalahpahaman terjadi karena rekayasa laporan-laporan oleh negara-negara agresif seperti Amerika Serikat.
Dalam laporan yang dikeluarkan pada Februari lalu, komisi PBB yang ditugaskan menyelidiki rekor HAM Korea Utara menemukan negara tersebut telah melakukan pelanggaran HAM sistematis seperti pembunuhan, perbudakan, dan penyiksaan, bentuk kejahatan yang bisa menyeret sebuah negara ke pengadilan kriminal internasional.
"Skala pelanggaran ini menunjukkan sebuah negara yang tidak memiliki perbandingan di dunia saat ini," kata laporan tersebut.
Bantahan Korea Utara yang dipublikasikan Sabtu lalu menyatakan laporan PBB tersebut didasarkan pada "pengakuan manusia-manusia kurang ajar yang telah mengkhianati negaranya dan rakyatnya."