Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Perlakuan terhadap pencari suaka yang mencapai Australia menggunakan perahu telah menjadi isu politis yang paling memecah belah sepanjang sejarah.
Perlu diketahui beberapa fakta mengenai masalah ini.
Pertama, pencari suaka mencapai Australia melalui dua jalur: pesawat atau perahu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pencari suaka yang menggunakan pesawat harus mempunyai dokumen perjalanan dari negara asalnya dan visa untuk memasuki Australia; jika tidak, mereka akan dikembalikan ke tempat pemberangkatan dengan biaya ditanggung oleh maskapai yang membawa mereka.
Pencari suaka yang menggunakan pesawat biasanya mempunyai visa jangka pendek (pelajar, wisata, bisnis), namun saat mereka lolos dari pengawasan paspor di Australia, mereka kemudian meminta suaka.
Ketika visa jangka pendek ini habis, mereka bisa tetap berada di negara itu dengan menggunakan visa sementara sampai klaim suakanya selesai.
Sekitar 40 persen dari kelompok ini akhirnya diterima sebagai pengungsi.
Sementara pencari suaka yang menggunakan perahu harus mengalami beberapa kerugian.
Pertama, mereka datang dari negara-negara yang mempersulit atau bahkan tidak memungkinkan mereka mendapatkan dokumen perjalanan.
Kedua, mereka datang dari negara di mana visa ke Australia nyaris tidak mungkin didapatkan.
Kelompok ini mendatangi Australia menggunakan perahu karena tidak bisa menggunakan pesawat.
Mitos kuat yang menyebut para pencari suaka datang menggunakan perahu karena mereka adalah orang kaya bukan hanya salah tetapi secara logika pun absurd. Mengapa orang kaya harus membahayakan diri mereka sendiri di lautan?
Biasanya, mereka pergi ke Malaysia atau Indonesia menggunakan surat-surat palsu.
Mereka tidak akan lolos di negara yang sudah menandatangani Konvensi Pengungsi UNHCR, karena itu posisi mereka menjadi sangat terancam ketika orang yang menyelundupkannya mengambil kembali dokumen perjalanan mereka.
Jika mereka ditemukan, mereka dapat dijebloskan ke penjara, atau dikirim kembali ke negara asal dan pencari suaka yang masuk ke Indonesia selamanya hidup dalam ketakutan akan hal-hal tersebut.
Di Indonesia, pencari suaka dapat mendatangi kantor UNHCR dan memohon status sebagai pengungsi.
Mereka yang berhasil mendapatkan status itu kemudian bisa menunggu 20 sampai 30 tahun sampai ditawarkan tempat di negara yang aman.
Sementara menunggu, mereka tidak boleh mencari pekerjaan, dan anak-anak mereka tidak bisa bersekolah karena takut diketahui oleh pihak berwenang.
Di negara-negara yang tidak menandatangani Konvensi Pengungsi, status mereka benar-benar ilegal.
Jadi wajar jika sebagian dari mereka -- yang mempunyai inisiatif dan keberanian tinggi -- menyerahkan diri ke tangan penyelundup manusia, melibatkan diri dalam perjalanan laut yang berbahaya, dan berakhir di Australia.
Selama 20 tahun ke belakang, lebih dari 90 persen manusia kapal -sebutan untuk pencari suaka dengan kapal- akhirnya mendapat status pengungsi dan secara legal mendapatkan perlindungan.
Ironisnya, mereka menjadi pusat serangan politik, sementara sejumlah besar imigran yang datang dengan pesawat sama sekali tidak mendapatkan perhatian.
Pandangan mayoritas -- dari kedua partai besar yang bersaing beberapa tahun ini -- adalah para manusia perahu adalah "ilegal," "penyerobot antrian," dan ancaman bagi perbatasan serta kedaulatan Australia.
Pandangan itu adalah akibat langsung pernyataan tidak jujur koalisi pemerintahan: pertama pemerintahan Howard dan sekarang Abbot.
Terlebih lagi, walau selama ini partai koalisi yang selalu secara aktif berbohong mengenai isu ini, partai buruh juga tidak pernah menentang kebohongan tersebut.
Dengan melestarikan pandangan yang salah tentang pencari suaka (atau, setidaknya, dengan tidak mendukung mereka) kedua partai besar berhasil membangkitkan semacam histeria dalam pemilihan umum Australia.
Narasi yang dimulai dengan kata "ilegal" dan "penyerobot antrian", kemudian berkembang jadi "menghancurkan bisnis penyelundup orang", dan akhirnya berevolusi jadi "Operasi Batas Kedaulatan" yang dipimpin komando militer.
Dari titik itu, berita tentang kedatangan kapal ditutupi dengan alasan "urusan operasional."
Janji untuk "menghentikan perahu" dengan cukup mulus berubah menjadi proses menghentikan informasi tentang perahu.
Patut dicatat pula arah debat terbuka yang selama ini terjadi: orang-orang melarikan diri dari ketakutan yang tidak bisa kita bayangkan dicap sebagai kriminal; lalu kekejian penyelundup orang dimunculkan untuk menimbulkan kemarahan luar biasa; dan akhirnya kita memasuki perang panas dengan dalih "melindungi" negara -- dan sekarang menyelimuti semua hal dengan bahasa yang dirumuskan untuk membuat masyarakat umum beranggapan pencari suaka adalah kriminal yang berbahaya.
Pada kenyataannya, mereka adalah orang-orang yang mengalami ketakutan dan mencari perlindungan: sering kali, perlindungan dari musuh-musuh Australia!
Menarik untuk melihat bagaimana publik (atau setidaknya mayoritas publik) menerima tanpa pikir panjang anggapan yang diberikan pada para pencari suaka. Hal ini terjadi walaupun dibarengi dengan fakta bahwa para pencari suaka bukan imigran ilegal.
Datang ke Australia dengan cara yang dilakukan untuk mencari perlindungan tidak melanggar hukum apapun.
Sebaliknya, mencari suaka adalah hak yang dijanjikan oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia: dokumen yang dibuat dengan melibatkan bantuan Australia, dan ditandatangani oleh Australia.
Manus dan NauruPada 2001 dan 2012, Australia menerapkan sistem penampungan pengungsi di Pulau Manus (bagian Papua Nugini) dan Nauru. dan sistem yang disebut Solusi Pasifik ini didesain, seolah-olah untuk melindungi pengungsi dari kekejaman lautan.
Australia melakukan "perlindungan" ini, anehnya, dengan cara menunggu hingga para pengungsi sampai di Pulau Christmas dan kemudian mengirim mereka ke Manus atau Nauru, di luar kehendak mereka.
Saat ini, orang-orang yang dikirim ke tempat itu diproses dengan kecepatan rata-rata dua orang per-tahun.
Lambatnya proses ini mencerminkan dua hal. Pertama, Manus dan Nauru tidak berpengalaman dalam mengurus pengungsian, sehingga mereka harus membuat infrastruktur hukum dan sistemnya.
Kedua, Australia secara eksplisit berusaha membuat efek jera: hidup sebagai tahanan di Manus atau Nauru dibuat selama dan sekeras mungkin untuk memaksimalkan efek jera.
Teorinya adalah, jika Australia cukup kejam terhadap orang-orang yang melarikan diri dari negara berbahaya, orang-orang lain akan lebih memilih untuk bertahan dan menghadapi bahaya di negaranya.
Seperti kebanyakan pendukung pengungsi, saya tidak melawan konsep pemrosesan lepas-pantai: itu semua bergantung pada bagaimana konsep itu diartikan.
Yang dipikirkan pengungsi hanyalah bagaimana menetap di tempat yang aman. Dari sudut pandang pengungsi, tidak penting bagaimana proses menuju hal itu dilakukan. Tapi prosesnya harus adil, efisien, dan lancar.
Pada akhir 1970-an, pemrosesan lepas-pantai di Malaysia sesuai dengan kriteria tersebut. Sementara pengungsi menjalani perjalanan laut dari Vietnam ke Malaysia, mereka diproses di Malaysia dan mendapat permukiman baru dengan lancar.
Ini berlangsung walaupun Malaysia tidak menandatangani Konvensi Pengungsi.
Namun, sekelompok negara Barat, termasuk Australia, ditugasi untuk membantu menyelesaikan masalah setelah perang di Vietnam dan genosida di Kamboja.
Pada saat itu, perdana menteri partai koalisi, Malcom Fraser, berhasil mendapatkan dukungan Gough Whitlam, pemimpin partai buruh. Sebagai akibatnya, Australia menerima sekitar 25 ribu pengungsi Indo-China setiap tahun selama beberapa tahun. Dan itu tidak mengakibatkan masalah sosial yang berarti.
XenophobiaApa yang terjadi saat ini sangat berbeda karena kedua partai besar mendapatkan keuntungan politis dengan menjunjung dan mempertahankan xenophobia.
Apa yang kita sebut dengan pemrosesan lepas-pantai kini benar-benar telah berubah.
Kampanye pemilihan umum Federal 2013 adalah kali pertama dalam sejarah Australia kedua partai bersaing untuk menjanjikan kekejaman bagi kelompok manusia tertentu.
Sementara masalah utama yang kita hadapi adalah kebiadaban perlakuan Australia terhadap pencari suaka, kita juga harus menanamkan dalam pikiran bagaimana perlakuan buruk itu memakan biaya sebesar AUS$5 juta per tahun.
Jika kita memperlakukan mereka dengan baik, biaya yang dimakan hanya 10 persen dari angka tersebut.
Jika saya diperbolehkan mendesain ulah sistem ini, saya akan membuatnya seperti ini:
1. Kedatangan perahu akan ditahan sementara selama satu bulan, untuk pemeriksaan kesehatan dan keamanan awal, dapat diperpanjang jika pengadilan memutuskan yang bersangkutan perlu ditahan lebih lama.
2. Setelah penahan awal, mereka akan dilepaskan ke masyarakat, dengan hak bekerja, dan mendapatkan jaminan Centrelink (tunjangan) serta Mediacare (program kesehatan).
3. Selama pengajuan visa mereka diproses, mereka diharuskan untuk tinggal di kota regional tertentu. Keuntungan pemerintah apapun yang mereka terima juga akan berlaku di ekonomi regional. Banyak kota di penjuru negara ini yang menginginginkan tambahan populasi di daerahnya.
Mari kita buat asumsi tegas. Mari kita asumsikan bahwa peningkatan kedatangan yang kita lihat pada 2012 menjadi norma baru (sangat tidak mungkin); dan kita asumsikan bahwa setiap pencari suaka tetap mendapatkan keuntungan Centrelink (juga sangat tidak mungkin: mereka sangat bermotivasi tinggi). Itu akan memakan biaya sekitar AUS$500 juta per tahun. Australia menghemat AUS$4,5 miliar per tahun dengan memperlakukan mereka dengan baik.
Dan AUS$500 juta dapat dimanfaatkan untuk membangun perekonomian kota-kota regional.
Australia bukan hanya membuang-buang uang dalam menangani pengungsi, negara ini juga merusak reputasi internasionalnya. Sementara Australia membanggakan diri sebagai negara yang murah hati, santai, dan menjunjung tinggi kebaikan, dunia internasional melihatnya sebagai negara yang egois dan kejam.
Rusaknya reputasi Australia adalah tragedi.
Tidak sadarnya warga Australia tentang masalah ini adalah tragedi.
Australia merusak orang-orang yang berani dan bermotivasi tinggi dan bisa berkontribusi banyak bagi negara adalah tragedi.
---
Artikel Julian Burnside untuk The Big Smoke (7/4). Burnside adalah pengacara dari Melbourne yang berspesialisasi dalam litigasi komersial.