IMIGRAN GELAP

Siap Mati Demi Mimpi Hidup di Eropa

CNN Indonesia
Rabu, 17 Sep 2014 16:32 WIB
Imigran gelap asal negara-negara dunia ketiga mempunyai mimpi hidup layak di Eropa dan tak gentar mengarungi samudera meskipun nyawa menjadi taruhan.
Sekitar 1.500 imigran tewas di Laut Mediterania ketika berusaha menyeludup ke Italia.
CNN Indonesia -- Suatu hari di musim panas di Yordania utara, matahari yang bersinar di tepian laut, kota Irbid, Suriah menemani seorang pengungsi Suriah yang siap mati di Laut Mediterania.

Pengungsi yang tak mau menyebutkan nama itu sedang bersenda gurau dengan istri dan anaknya, sembari mengemasi tas yang hanya berisi dua pasang celana panjang dan kemeja, sepasang sepatu, selotip, uang, dan paspor.

Anak mereka, bocah laki berumur lima tahun dan anak perempuan berumur tujuh tahun tak tahu apa yang terjadi dan hanya mengerti Baba akan pergi ke Eropa melalui perjalanan yang berbahaya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Inilah adegan perpisahan seorang seorang pengungsi Suriah yang berniat mengarungi arus laut menuju Eropa untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Perpisahan yang mungkin terjadi untuk beberapa bulan, tahun, atau mungkin selamanya.

Sepotong kisah memilukan tersebut seketika tenggelam oleh kebisingan para pengungsi lain yang bersiap menaiki kapal menuju Eropa, bertaruh dengan laut dan menghadapi kemungkinan selamat, mati tenggelam, atau bertemu dengan bandit Libya yang akan merampas barang bawaan mereka.

Ribuan pengungsi per hari

Organisasi Internasional untuk Migrasi, IOM, memperkirakan lebih dari 110 ribu imigran gelap tiba di Italia pada 2014.

"Sekitar 4.000 hingga 5.000 diantara tiba hanya berselang beberapa hari saja," ujar Falvio DiGiacomo, juru bicara IOM, di Italia, awal September lalu, seperti dikutip Middle East Eye.

IOM bekerja sama dengan pemerintah Italia, badan perlindungan pengungsi internasional, UNHCR, lembaga bantuan Save Children dan Badan Bantuan Kemanusiaan Italia untuk menanggulangi "banjir" imigran yang mencari kehidupan lebih baik di Italia.

"Satu kapal keamanan Italia dapat mengevakuasi 1.300 imigran per hari dari kapal reyot yang mereka gunakan untuk melewati perairan Sicily," kata DiGiacomo.

IMO mencatat hingga bulan Juli lalu sekitar 16 ribu imigran Suriah yang terdampar di Italia, setengahnya adalah pria sementara 5.000 adalah anak-anak.

Berdasarkan data Frontex, lembaga perbatasan Uni Eropa, angka ini merupakan peningkatan yang sangat besar karena pada 2013 lalu hanya terdapat 9.591 warga Suriah yang mengungsi ke Italia dan Malta.

"Kita tak bisa terus begini, bahwa di abad ke-21, masih banyak anak meninggal di lautan," kata DiGiacomo.

Tak seperi imigran Afrika, yang memang melarikan diri dari peperangan di negara mereka, imigran asal Suriah mencari suaka ke Italia karena tidak mendapat penghidupan yang layak di kamp pengungsian tempat mereka tinggal selama ini, tak ada lapangan pekerjaan dan harus menggantung hidup pada dana bantuan.

Sebelum perang saudara terjadi di Suriah, sepasangan suami istri dari Suriah kelas menengah, menjalankan bisnis keluarga dan mempunyai rumah serta mobil. Ketika perang saudara berkecamuk, dengan cepat kehidupan mereka berubah karena mereka menjadi pengungsi dan tak punya apa-apa.

Pasangan suami istri menolak menyebutkan nama mereka karena takut dilacak oleh pemerintah Suriah sehingga mereka tak bisa memasuki Eropa lalu dikirim ke Turki dan Lebanon. Keluarga ini sekarang tercerai berai.

Pasagan ini memiliki "mimpi Eropa" yang cukup sederhana, yaitu mendapat penghidupan yang layak, tinggal di lingkungan yang menerima dan dapat menyekolahkan anak-anak mereka.

Padahal, hingga saat ini belum ada data terkait jumlah imigran yang mendapat penghidupan dan pekerjaan yang layak di Eropa.

Meskipun begitu, "mimpi Eropa" para imigran dari negara dunia ketiga tak pernah padam, mengalahkan probabilita mereka meninggal karena tenggelam di tengah laut, sakit, kehausan, atau terlempar dari kapal.

DiGiacomo memperkirakan sekitar 1.500 imigran tewas di laut ketika berusaha menyeludup ke Italia, namun UNHCR memprediksi angka yang lebih tinggi, yaitu sekitar 1.889 orang tewas tenggelam di laut, 1.600 diantaranya terjadi pada awal Juni.

"Kami dapat menghitung jumlah imigran yang datang ke Italia, tapi kami tak pernah tahu jumlah imigran yang meninggal negara mereka, tenggelam di laut dan tak pernah sampai daratan," kata Di Giacomo.

DiGiacomo mengungkapkan biaya untuk pindah ke negara baru tidak murah dan bergantung pada rute perjalanan yang akan dilalui.

Seorang pengungsi biasanya dimintai uang sekitar US$ 4.000 pada awal perjalanan, dan akan dimintai uang tambahan di tengah perjalanan.

DiGiacomo melanjutkan bahwa "perjalanan ke Eropa" tidak dilengkapi dengan pelampung bagi para imigran, jika adapun para imigran harus membayar pelampung seharga US$ 50 hingga US$ 100.

Namun, imigran dari Afrika tak boleh membeli pelampung, karena dianggap tidak berhak untuk mendapatkan jaket penyelamat itu.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER