Jakarta, CNN Indonesia -- Peretas yang terkait dengan pemerintah Tiongkok berkali-kali menerobos sistem komputer maskapai penerbangan, perusahaan teknologi, dan kontraktor lain yang terlibat dalam pergerakan pasukan dan peralatan militer Amerika Serikat.
Penyelidikan Komite Angkatan Bersenjata di Senat AS menyimpulkan, Komando Transportasi Militer AS (Transcom) hanya mendeteksi dua dari setidaknya 20 kali pembobolan yang terjadi selama satu tahun terakhir.
Laporan setebal 52 halaman itu menemukan 50 kali pembobolan atau kejadian siber lain ke dalam jaringan kontraktor Transcom dalam 12 bulan mulai dari 1 Juni 2012.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setidaknya 20 di antaranya berhasil membobol dan dicap sebagai "ancaman yang canggih," satu istilah untuk ancaman-ancaman canggih yang biasanya dikaitkan dengan serangan terhadap pemerintahan.
Semua serangan itu diatribusikan pada Tiongkok.
Investigasi ini juga menemukan "pembobolan militer Tiongkok" ke data "surel, dokumen, kata sandi, dan kode komputer" salah satu kontraktor Transcom antara 2008 dan 2010.
Selain itu, dilaporkan juga pembobolan lain terhadap sejumlah sistem pengapalan komersial kontraktor Transcom yang terjadi pada 2012.
Penyelidikan ini juga menemukan ada celah dalam syarat-syarat laporan dan kekurangan distribusi informasi di antara badan pemerintahan AS. Hal ini menyebabkan pihak militer tidak menyadari kelemahan komputer para kontraktornya.
"Pembobolan jaringan penting kontraktor pertahanan yang dilakukan pada masa damai ini adalah bukti tindakan agresif Tiongkok di dunia siber," kata Senator Demokrat Carl Levin dari Michigan, ketua komite ini dalam siaran pers (17/9), dikutip dari Reuters.
Pejabat di Kedutaan Besar Tiongkok di Washington belum mau mengomentari laporan ini.
Pengamat keamanan siber Dmitri Alperovitch, kepala teknologi di perusahaan keamanan Crowdstrike, menyebut Tiongkok sudah bertahun-tahun menunjukkan ketertarikan pada pola logistik di militer Amerika.
Di antaranya adalah kemampuan militer AS dalam menugaskan penerbangan, pengapalan, dan aset transportasi publik lainnya untuk menjalankan tugas, seperti pengiriman pasukan dan pasokan makanan hingga amunisi serta bahan bakar.
Perusahaan-perusahaan sipil ini biasanya tidak punya pertahanan siber yang memadai untuk melawan peretas seperti halnya pembuat senjata besar, atau pihak militer.
"Militer menggunakan jaringan rahasia yang tidak berjalan di Internet, tapi perusahaan swasta tidak demikian," kata Alperovitch. "Itu adalah tantangan yang luar biasa."
Pengamatan Senat ini dapat meningkatkan ketegangan antara kedua negara besar ini terkait spionase siber.
Bulan lalu, Sistem Kesehatan Masyarakat, salah satu badan rumah sakit terbesar di AS, mengatakan peretas Tiongkok telah mencuri nomor-nomor Jaminan Sosial dan data pribadi lainnya dari 4,5 juta pasien.
Sementara Mei lalu, pemerintah AS menuntut lima pejabat militer Tiongkok atas tuduhan peretasan terhadap perusahaan nuklir, logam, dan solar Amerika untuk mencuri rahasia perdagangan.