Jakarta, CNN Indonesia -- Keluarga korban tewas dari Jerman dalam insiden jatuhnya pesawat Malaysian Airline MH17 akan menuntut Ukraina dan presiden negara itu atas dakwaan pembunuhan dan kelalaian yang terdiri dari 298 kasus.
Professor bidang hukum penerbangan Elmar Giemulla yang mewakili tiga keluarga korban dari Jerman mengatakan bahwa Ukraina bersalah karena tidak menutup wilayah udaranya karena situasi perang yang tidak bisa menjamin keselamatan pesawat komersial melintas.
"Setiap negara bertanggung jawab untuk keamanan wilayah udaranya. Jika jaminan keselamatan tidak ada, maka Ukraina seharusnya menutup udara mereka. Karena itu tidak dilakukan, Ukraina harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami," kata Giemulla pada Reuters, Minggu (21/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Koran Minggu Bild am Sonntag mengutip Giemulla yang mengatakan bahwa Ukraina telah menyebabkan kematian ratusan orang yang tidak berdosa dan ini adalah pelanggaran hak asasi manusia.
Giemulla akan mengajukan gugatan ke Pengadilan HAM Eropa dalam dua pekan mendatang, atas tuduhan pembunuhan dan kelalaian oleh Ukraina dan presidennya, Petro Poroshenko.
Dia juga akan menuntut kompensasi sebesar 1 juta euro atau sekitar Rp15,4 miliar per korban.
MH17 yang terbang dari Amsterdam menuju Kuala Lumpur jatuh di wilayah Donetsk yang dikuasai separatis pro-Rusia di Ukraina pada 17 Juli lalu, menewaskan 298 orang di dalamnya, dua per tiganya adalah warga Belanda, sementara empat orang yang tewas dari Jerman.
Menurut tim penyelidik dari Belanda, pesawat itu jatuh akibat hantaman dari luar yang diduga adalah rudal-darat-ke-udara buatan Rusia, SA-11 Buk, tuduhan langsung mengarah pada kelompok separatis.
Barat mengatakan Rusia ikut bersalah karena telah mempersenjatai militan di Ukraina, sebuah tuduhan yang dibantah keras Kremlin.
Upaya penyelidikan masih terhambat karena tim penyidik tidak bisa memasuki lokasi jatuhnya pesawat yang berada di wilayah kekuasaan militan separatis.
Sejauh ini, Malaysian Airlines telah menawarkan kompensasi sebesar US$5 ribu (Rp60 juta) per korban, namun maskapai membuka kesempatan para keluarga penumpang untuk mengajukan kompensasi lebih besar melalui jalur hukum.