Kabul, CNN Indonesia -- Afganistan resmi memiliki presiden baru setelah Ashraf Ghani dilantik Senin (29/9) di kompleks Istana Kepresidenan Kota Kabul.
Pelantikan ini menandakan proses transisi demokrasi di negara tersebut.
Ghani menggantikan Hamid Karzai, yang telah menciptakan hubungan buruk dengan Amerika Serikat selama 13 tahun kekuasaannya yang dimulai setelah jatuhnya Taliban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ghani merupakan mantan menteri keuangan Afganistan tahun 2002 hingga 2004, yang dilantik setelah menandatangani perjanjian pembagian kekuasaan pekan lalu dengan calon presiden saingannya, Abdullah Abdullah. Perjanjian itu menempatkan Abdullah sebagai Perdana Menteri Afganistan.
Sebelumnya, mereka berdua sempat bersitegang akibat kasus saling menuduh terkait manipulasi suara saat pemilihan presiden Juni lalu, ditambah adanya keinginan Taliban untuk mengganggu jalannya proses pemilihan.
"Sengketa tersebut telah diselesaikan setelah pertemuan larut malam dengan Duta Besar AS," kata ajudan Abdullah.
Meski demikian, beberapa kalangan berpendapat bahwa kedua pemimpin tersebut akan mengalami kesulitan bekerja sama dalam pemerintahan, mengingat sejarah hubungan buruk keduanya.
Situasi politik ini diperburuk oleh aksi kelompok Taliban yang melancarkan berbagai serangan untuk menguasai lahan opium, seperti yang terjadi di Provinsi Ghazni, dan wacana penarikan tentara AS secara bertahap dari Afghanistan hingga akhir tahun ini.
Pengamat berpendapat, untuk menjadikan Afghanistan lebih baik, Ghani dan Abdullah harus bisa menyingkirkan ego pribadi mereka.
Sementara dalam pidato kenegaraannya, Ghani mengajak kelompok Taliban dan militan lain untuk duduk bersama mendiskusikan upaya perdamaian dan mengakhiri rezim kekerasan yang telah berlangsung lebih dari satu dekade, mengakibatkan ribuan warga Afghanistan tewas setiap tahun dalam pemberontakan.
"Keamanan adalah tuntutan utama rakyat kita, dan kita lelah dari perang ini, dengan ini saya menyerukan kepada Taliban dan Hezb-i-Islami untuk mempersiapkan negosiasi politik," ujar Ghani.
Hezb-i-Islami adalah kelompok Islam yang bersekutu dengan Taliban.
Ghani juga berjanji untuk menindak korupsi yang merajalela dan menyerukan kerja sama dalam pemerintahan koalisi.
"Sebuah pemerintahan bukan tentang pembagian kekuasaan, melainkan tentang bekerja bersama-sama," kata Ghani dalam kata sambutannya yang berlangsung selama hampir satu jam.
Terkait hubungan dengan AS, Ghani dan Abdullah diharapkan segera menandatangani perjanjian keamanan bilateral untuk memungkinkan perwakilan pasukan AS tetap berada di Afghanistan guna melatih tentara Afghanistan dan polisi, langkah yang sebelumnya ditolak oleh mantan presiden Hamid Karzai.
Selain krisis keamanan, krisis fiskal yang melanda Afganistan juga menjadi tantangan utama pemerintahan Ghani kedepan.
Sebelumnya, pemerintah Afghanistan telah meminta bantuan AS dan negara pendonor lain untuk membayar hutang negara sebesar US$537 juta hingga akhir tahun ini.
Beberapa pengamat berharap bahwa Ghani, yang pernah bekerja untuk Bank Dunia dan juga mantan menteri keuangan Afghanistan akan menerapkan pengetahuannya dalam bidang ekonomi untuk mengubah tradisi pemerintahan Afganistan yang korup dan tidak efisien.