Hong Kong, CNN Indonesia -- WNI tidak memiliki hak untuk bekerja dan mencari nafkah di Hong Kong, Tiongkok, jika izin tinggalnya telah kadaluarsa alias
overstayer. Namun ada cara lain bagi para WNI untuk memperpanjang masa tinggal di negara itu agar tidak dipulangkan segera, yaitu dengan mengajukan permohonan suaka.
Eni Lestari, penasihat Jaringan Buruh Migran Indonesia, kepada CNN Indonesia (5/11) mengatakan bahwa Hong Kong adalah salah satu wilayah pengajukan suaka politik di bawah pengawasan lembaga pengungsi PBB, UNHCR.
"Memang ada yang murni mencari suaka politik, seperti penganut Ahmadiyah asal Indonesia. Namun banyak juga yang merupakan TKI yang punya anak dan belum siap pulang, akhirnya mengajukan diri sebagai
asylum seeker untuk bisa bertahan satu atau dua tahun lagi," jelas Eni.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para WNI
overstay, kata Eni, mengajukan permohonan suaka dengan
Torture Claim, atau hak suaka untuk orang yang mengalami kekerasan politik di negara asal.
"Secara hukum UNHCR tidak akan menolak suaka dari siapa pun. Jadi ketika seseorang datang dengan membawa anak dan mengatakan 'bapak saya akan membunuh saya jika saya pulang' maka permohonannya akan diterima," kata Eni.
Setelah mengajukan permohonan, maka akan dilakukan peninjauan apakah seseorang layak mendapatkan suaka atau tidak, yang biasanya berlangsung selama 1-2 tahun. Sebagian besar permohonan, kata Eni, ditolak.
Selama rentang waktu peninjauan, pengaju suaka akan menerima berbagai tunjangan seperti uang dan bahan makanan.
"Pencari suaka akan mendapatkan tunjangan, walau sangat minimum, HK$1800 atau sekitar Rp2 juta. Itu hanya habis untuk biaya sewa satu tempat tidur," kata Eni.
Warga
overstayer di Hong Kong tidak mendapatkan perlindungan hukum dan dilarang untuk bekerja, yang akhirnya memaksa mereka untuk bekerja secara serabutan.
Salah satu kasus
overstayer yang muncul saat ini adalah tewasnya WNI di distrik Wan Chai, dibunuh dengan sadis oleh seorang warga negara Inggris bernam Rurik Jutting.
Korban bernama Seneng Mujiasih bekerja sebagai
wanita hiburan di Wan Chai. Pekerjaan ini adalah salah satu profesi yang terpaksa dilakukan para WNI
overstayer untuk menyambung hidup.
Mujiasih menurut Eni awalnya tidak diketahui identitasnya karena tidak membawa dokumen resmi, sebuah hal lazim yang dilakukan oleh para WNI
overstayer.
"Sumarti ningsih teridentifikasi karena punya dokumen di tasnya. Tapi korban lainnya tidak langsung dikenali sebagai Mujiasih," ujar Eni.
JBMI yang mewadahi 70 organisasi buruh migran di Hong Kong turut menampung para overstayer dan mengupayakan agar mereka bisa pulang ke tanah air.
"Penampungan di Hong Kong biasanya ada di gereja atau masjid yang menyediakan rumah sementara untuk buruh migran yang memang membutuhkan," jelas Eni.
Hong Kong adalah negara terbesar ke lima tujuan TKI asal Indonesia dengan jumlah lebih dari
23 ribu orang. Menurut Eni, Hong Kong memiliki tawaran kontrak kerja yang lebih pasti dan gaji yang lebih tinggi ketimbang negara Asia lain seperti Malaysia.
Namun harga kebutuhan hidup yang tinggi, ditambah potongan gaji oleh agen penyalur hingga 6 bulan, membuat banyak TKI sulit menabung.
"Itulah mengapa kami sangat aktif menutut kenaikan gaji. Walau jika dikonversi ke rupiah, dolar Hong Kong sangat besar, tapi untuk kebutuhan di tempat kerja seperti telepon dan baju, sangat kecil," jelas Eni.