Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus pembunuhan dua WNI di Hong Kong memantik satu isu baru mengenai keberadaan TKI, yaitu soal
overstayer asal Indonesia di Hong Kong.
Salah satu korban pembunuhan, Seneng Mujiasih alias Jesse Lorena merupakan salah satu
overstayer asal Indonesia yang nekat menetap di Hong Kong meskipun visa yang dia miliki telah melewati batas waktu.
Wakil Konsulat Jenderal Republik Indonesia, KJRI di Hong Kong, Rafail Walangitan menyatakan bahwa tindakan para
overstayer untuk tetap menetap di Hong Kong merupakan pilihan pribadi TKI, meskipun mereka tidak bisa bekerja secara legal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"TKI yang telah habis masa kerja atau terkena PHK mendapatkan tiket pesawat dari majikan yang bersangkutan. Masalahnya, mereka mau pulang atau tidak," kata Rafail, ketika dihubungi CNN Indonesia, Rabu (5/11).
Saat ini, Rafail menyebutkan jumlah WNI sekitar 168.000 jiwa. Sebagian besar di antaranya, atau sekitar 165.000 TKI adalah buruh migran.
Data terbaru
overstayer Indonesia yang tertangkap oleh pihak imigrasi dan dimasukan ke dalam penjara sekitar 60 orang di Hong Kong, dan 30 orang di Macau.
Rafail menjabarkan, hingga saat ini, jumlah TKI di Hong Kong yang terkena kasus hukum dan telah mendapatkan kepastian hukum atau dipenjara sekitar 170 orang.
Rafail menyayangkan tindakan
overstayer yang nekat menetap di Hong Kong, karena tanpa visa yang masih berlaku, mereka terpaksa bekerja serabutan di sektor-sektor yang tidak memerlukan agen PJTKI, sebagian bahkan memilih untuk bekerja di sektor hiburan malam.
"Kami menemukan
overstayer biasanya di penjara, karena mereka mereka meminta bantuan hukum. Ada juga yang datang langsung ke kita dan menyatakan mereka
overtstayer, tak lagi punya uang dan pekerjaan serta meminta kita fasilitasi pembuatan paspor," kata Rafail.
Rafail mengungkapkan pihak KJRI selalu melakukan upaya sosialisasi kepada
overstayer agar mereka kembali ke tanah air.
Menurut Rafail, KJRI juga menampung
overstayer, namun hanya sampai proses paspor mereka selesai dan diperbolehkan pulang kembali ke tanah air.
"
Shelter KJRI utamanya bukan untuk mereka yang sengaja menjadi
overstayer, melainkan untuk mereka yang bermasalah dengan hubungan kerja atau membutuhkan bantuan atau sakit," kata Rafail.
Menurut Rafail, ditemukan banyak kasus para
overstayer asal Indonesia berkumpul dan tinggal bersama di suatu tempat atau menumpang di tempat penampungan di sejumlah LSM.
Hal senada juga diungkapkan Eni Lestari, penasihat Asosiasi Buruh Migran Indonesia. Menurut Eni, sebagian besar tenaga kerja Indonesia yang memilih menjadi
overstayer adalah PRT yang terkena pemutusan hubungan kerja namun ingin tetap bekerja.
Eni menjabarkan, peraturan Hong Kong mengharuskan pekerja rumah tangga yang mengalami pemutusan hubungan kerja harus keluar dari Hong Kong.
"Sementara, jika ingin kembali ke Hong Kong, TKI harus dan membayar lima hingga enam bulan gaji uang kepada agen PJTKI. Bayangkan jika jumlah itu harus dibayarkan setiap kali PRT masuk ke Hong Kong," kata Eni ketika dihubungi CNN Indonesia, Senin (3/11).
Oleh karena itu, menurut Eni banyak PRT yang mengalami PHK tidak mau keluar dari Hong Kong, dan terpaksa bekerja serabutan yang tidak memerlukan agen, seperti menjadi pekerja seks komersial.
"Agen lepas tangan begitu PRT di-PHK. Namun begitu mereka mau masuk Hong Kong lagi, mereka kembali mensyaratkan PRT membayar 6 bulan gaji pertama," ujar Eni.
Salah satu korban pembunuhan WNI di Hong Kong, Seneng Mujiasih alias Jesse Lorena adalah contoh
overstayer yang tidak terdeteksi oleh pihak imigrasi dan KJRI.
Menurut sumber yang Eni dapat, Mujiasih sudah enam tahun berada di Hong Kong. Mujiasih pernah menjadi TKI selama tiga tahun. Tiga tahun berikutnya dia diperkirakan bekerja secara serabutan, bahkan tidak menutup kemungkinan menjadi pekerja seks komersial.
Eni menyayangkan peraturan pemerintah yang membolehkan para agen PRT yang kembali memungut bayaran yang begitu besar kepada PRT, karena memicu para PRT yang terkena PHK untuk overstay tanpa pekerjaan tetap dan jelas.
Hingga saat ini, Eni menilai belum ada upaya dari pemerintah untuk menekan biaya tersebut.
Kasus pembunuhan dua WNI di Hong Kong terkuak saat jenazah Seneng Mujiasih dan Sumarti Ningsih ditemukan di sebuah apartemen mewah milik Rurik George Caton Jutting pada Sabtu (1/11).
Insiden ini mengejutkan warga Hong Kong, karena peristiwa kriminal yang menyangkut kaum kelas 'atas' sangat jarang terjadi di wilayah otonomi Tiongkok itu.
Dikutip dar Reuters, dokumen pengadilan menyebutkan bahwa Jutting bekerja di Bank of America Corp. Bank tersebut mengatakan mereka memang pernah memiliki karyawan dengan nama seperti Jutting, namun menolak memberikan rincian lebih lanjut.
Polisi setempat menangkap Jutting pada Sabtu dini hari dan pada Senin (3/11), Jutting hadir di pengadilan lokal Hong Kong untuk tuduhan terhadap dua kasus pembunuhan.
Dalam dakwaan pengadilan pada Senin (3/11), disebutkan bahwa Ningsih dibunuh pada 27 Oktober, sementara Mujiasih pada 1 November.
Konsul Jenderal RI di Hong Kong, Chalif Akbar, mengatakan bahwa pengadilan lanjutan akan dilakukan pada tanggal 10 November mendatang, sementara rekonstruksi akan digelar pada tanggal 7 November.