KRISIS COKELAT

Wabah Ebola Pengaruhi Produksi Cokelat Swiss

CNN Indonesia
Sabtu, 22 Nov 2014 03:05 WIB
Wabah Ebola rupanya ikut mempengaruhi harga kakao, bahan utama pembuatan cokelat. Produksi cokelat di Swiss pun terancam menurun drastis.
Para petani di Pantai Gading selama ini menanam biji kakao untuk meningkatkan tingkat perekenomian negaranya, namun kehidupan mereka nyatanya tidak semakmur pendapatan negaranya. (Reuters/Thierry Gouegnon)
Zurich, CNN Indonesia -- Siapa yang tidak menyukai cokelat? Minuman atau makanan cokelat yang sehari-hari kita konsumsi berasal dari biji kakao. Namun, produksi cokelat terancam mengalami krisis karena naiknya harga coklat dunia.

Barry Callebaut, perusahaan manufaktur cokelat terbesar di dunia menyatakan dalam laporan tahunan ini bahwa harga kakao yang melonjak sekitar 25 persen.

Juru bicara Barry Callebaut, Raphael Wermuth, menyatakan bahwa kenaikan harga ini dapat menyebabkan krisis pada produksi coklat dunia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kenaikan coklat berasal dari epidemi Ebola yang melanda Afrika Barat, dimana produsen utama biji kakao adalah Pantai Gading," ujar Wermuth.

Nama Barry Callebaut mungkin terdengar asing bagi penikmat coklat dunia. Namun, pabrik cokelat yang berbasis di Zürich, Swiss, ini merupakan "dapur" dibalik segelintir merek cokelat ternama, seperti Toblerone, Cadbury, dan Oreo.

"Kami adalah manufaktur cokelat nomor satu di dunia, tapi kalian tidak bisa menemukan produk kami di toko-toko," ujar Wermuth.

Laporan tahunan Barry Callebaut rupanya memicu serangkaian kecemasan terhadap kelanjutan produksi cokelat.

Wabah Ebola di Afrika barat menjadi salah satu alasan utama melonjaknya harga kakao dunia. (Reuters/Thierry Gouegnon)

Selain wabah mematikan Ebola, adapun ancaman defisit cokelat sebesar 1 juta ton yang diperkirakan akan terjadi pada tahun 2020 mendatang.

Barry Callebaut yang mengoperasikan 52 pabrik cokelat di seluruh dunia telah mengingatkan bahwa konsumen akan menghadapi krisis cokelat, kecuali aktivitas produksi bisa ditingkatkan agar memenuhi permintaan pasar.

Nyatanya tidak semua pihak setuju. Direktur ekonomi di International Cocoa Organisation, Laurent Pipitone, mengatakan defisit tersebut nampaknya 'hanya' sekitar 100 ribu ton, walau harga biji kakao memang melonjak sekitar dua pertiga sejak 2012, yakni 2 ribu poundsterling per ton (sekitar Rp 38 juta).

Barry Callebaut merasa 'terisolasi' dengan kenaikan harga biji kakao. Pihaknya pun sempat menyarankan para kliennya mencoba taktik penghematan uang yang mungkin bisa diterapkan, yaitu penghematan isi cokelat.

Meskipun bukan merupakan negara epidemi Ebola, Pantai Gading terletak di Afrika Barat dan berbatasan langsung dengan Liberia, Guinea, dan Ghana yang juga tengah dilanda kesengsaraan panen kakao.

Para petani di Abengourou, kota produksi kakao terbesar di Pantai Gading, mengeluhkan berbagai hambatan untuk memproduksi kakao, yaitu risiko penyakit, hujan yang tidak konsisten, dan tuntutan konsumen yang menginginkan penjualan biji cokelat dengan harga murah.

"Orang-orang di pemerintahan tidak peduli terhadap petani. Kami pun tidak bisa berbuat apa-apa. Sangat menyedihkan," ujar Armaud Kakou, seorang petani kakao yang berusia 40 tahun.

Para petani di Pantai Gading selama ini menanam biji kakao untuk meningkatkan tingkat perekenomian negaranya, namun kehidupan mereka nyatanya tidak semakmur pendapatan negaranya.

Menanggapi hal tersebut, pemerintah Pantai Gading menceritakan hal yang berbeda.

Menurut pemerintah setempat, pembaruan kebijakan harga pada 2012 lalu meningkatkan pendapatan dari produksi kokoa dalam jumlah besar, yakni 30 persen. Harga yang sudah ditetapkan adalah US$ 1,41 per kilogram, atau sekitar Rp17.200.

Mereka mengklaim panen tahun 2014 merupakan yang terbesar dalam sejarah Afrika Barat sejauh ini, Pantai Gading berhasil memproduksi 1,8 juta ton biji kakao. Jumlah tersebut naik 10 persen dari 2013 lalu.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER