Bangkok, CNN Indonesia -- Pemilihan umum Thailand yang sebelumnya direncanakan pada akhir 2015 diundur hingga awal tahun 2016. Penundaan pemilu ini mendorong kembali demokrasi yang dijanjikan oleh pemerintah junta militer.
Penundaan tersebut diumumkan oleh Wakil Perdana Menteri yang juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Prawit Wongsuwan pada hari Kamis (27/11).
Prawit menyatakan penundaan pemilu terpaksa dilakukan karena pemerintah harus menyusun konstitusi dan berdiskusi dengan kelompok opisisi yang biasa dikenal dengan Dewan Nasional untuk Ketentraman dan Ketertiban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami baru akan menyelenggarakan pemilihan umum sekitar awal 2016 setelah konstitusi disusun. Saat ini ada pertentangan dari Dewan Nasional untuk Ketentraman dan Ketertiban," kata Prawit, seperti ditulis
Reuters, Kamis (27/11).
Prawit meminta masyarakat Thailand memahami penundaan pemilu.
"Kami tidak meminta banyak waktu, hanya satu tahun saja untuk menyelesaikan masalah masa lalu," kata Prawit.
Thailand saat ini dipimpin oleh Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, yang menduduki kursi pemerintahan melalui kudeta militer dengan menggulingkan pemerintahan mantan perdana menteri Yingluck Shinawatra pada Mei lalu.
Militer Thailand berdalih kudeta tersebut diperlukan untuk menghindari pertumpahan darah lebih lanjut setelah aksi protes terjadi selama berbulan-bulan pada masa pemerintahan Yingluck.
Ketika mengambil alih kekuasaan, pemerintah junta militer menyatakan Thailand berada dalam kondisi darurat militer, membatalkan konstitusi lama dan menunjuk sebuah komite untuk menyusun konstitusi baru.
Baca juga:
Darurat Militer Thailand Batal DicabutPekan lalu, pemerintah mengumumkan kondisi darurat militer tidak akan dicabut. Namun, beberapa provinsi tidak dikenakan status darurat militer untuk meningkatkan sektor pariwisata yang anjlok semenjak kudeta.
Thailand mengalami krisis politik hampir satu dekade lalu setelah penggulingan mantan PM Thaksin Shinawatra, kakak Yingluck, yang terkenal mengeluarkan kebijakan populis bagi para petani sehingga memenangi pemilu.
Organisasi internasional yang berbasis di New York, Human Rights Watch, menyatakan pada pekan ini bahwa Thailand telah "jatuh ke dalam lubang yang tampaknya tak berdasar".
"Enam bulan setelah kudeta, siapapun yang mengkritik pemerintah akan dituntut, kegiatan politik dilarang, media disensor dan mereka yang dianggap pembangkang akan diadili di pengadilan militer," kata organisasi tersebut.
Baca juga:
Tujuh Polisi Thailand Tersangkut Kasus Korupsi