New York, CNN Indonesia -- Pemerintah Palestina kehilangan sedikitnya US$310 juta atau lebih dari Rp3,8 triliun untuk pajak bea dan penjualan pada 2011 akibat kebijakan impor melalui atau dari Israel.
Hal ini diungkapkan dalam studi Konferensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan, UNCTAD, dikutip dari Al-Arabiya (3/12).
UNCTAD mengatakan, kerugian itu setara dengan 3,6 persen GDP dan 18 persen dari pemasukan pajak Palestina. Lembaga ini mendesak untuk dilakukan reformasi kebijakan ekonomi yang melibatkan Israel dan Palestina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut UNCTAD, Protokol Paris tahun 1994 yang mengatur hubungan ekonomi antara Israel dan Palestina menyebabkan ketidakstabilan dan ketidakpastian finansial bagi pemerintah Palestina, sehingga harus direformasi.
Protokol tersebut mengatur pembatasan dagang dan mengharuskan setiap barang yang masuk ke Palestina harus melalui Israel.
UNCTAD menyerukan agar batasan dagang dengan negara lain di Palestina harus dihapuskan. Israel, lanjut UNCTAD juga tidak adil dalam memberikan pajak barang masuk ke Palestinamelalui wilayah mereka.
Selain itu, Israel juga kerap menunda transfer dana ke Palestina sebagai hukuman atas berbagai kasus politik dan diplomatik.
PBB menunjukkan ada sekitar 40 persen kebocoran fiskal terkait impor langsung dan tidak langsung dari Israel, dan 60 persen akibat hilangnya pajak bea.
Menurut data Bank Sentral Israel, lanjut PBB, 39 persen impor Palestina dari negara ketiga berasal dari Israel. Dalam hal ini Israel melakukan kecurangan dengan menampung barang-barang tersebut dan menjualnya ke Palestina seakan-akan barang itu diproduksi oleh Israel.
Pajak bea dari "impor tidak langsung" ini diambil oleh Israel namun tidak diberikan pada pemerintah Palestina.
Masalah lainnya datang dari penyelundupan barang, menunjukkan bahwa pemerintah Palestina sangat lemah dalam penjagaan perbatasan mereka.
Penyelundupan ini menyebabkan Palestina kehilangan pajak penjualan dan pembelian.