Kolombo, CNN Indonesia -- Bencana tsunami tahun 2004 yang menerjang sejumlah negara di sekitar Samudera Hindia, termasuk Sri Lanka, meninggalkan luka emosional di benak warga negara itu. Hingga saat ini, masyarakat Sri Lanka menghindari berada di dekat pantai.
Tsunami yang bermula dari gempa besar berkekuatan 9,1 skala richter yang berpusat di Aceh, Indonesia tersebut menerjang sejumlah negara, mengakibatkan ratusan ribu warga tewas di sejumlah negara.
Di Sri Lanka sendiri, korban tewas mencapai 35 ribu jiwa, sementara sekitar 1 juta orang terpaksa mengungsi karena rumah mereka rata dengan tanah dihempaskan tsunami.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya menjerit dan berlari ke atap rumah. Hampir seluruh keluarga saya hanyut tersapu tsunami," kata Appuwahandi Pemawathie, warga kota Galle, kota pinggir pantai yang terletak sekitar 120 km dari ibukota Kolombo, ketika menceritakan kembali bencana tsunami 2004 kepada Channel News Asia, Selasa (23/12).
"Rumah kami tinggal puing. Dalam sekejap, harta kami hanyalah pakaian yang melekat di badan," kata Pemawathie melanjutkan. Pemawathie kini tinggal di sebelah selatan, jauh dari pusat kota Galle.
Pemawathie menyatakan meski telah satu dekade berlalu, tsunami masih menimbulkan trauma psikologis bagi warga dan berdampak kepada sektor pariwisata.
Kota Galle yang dipenuhi gedung peninggalan berarsitektur Portugis dan sejumlah benteng Belanda ini kini sepi dari wisatawan asing maupun lokal.
Tsunami telah menghancurkan komunitas masyarakat pesisir, khususnya mereka yang tinggal di Galle. Hal tersebut mendorong pemerintah Sri Lanka untuk membuat perumahan tanpa konstruksi di wilayah zona penyangga yang berjarak 100-200 meter sebelah selatan laut.
Selain mempengaruhi pariwisata, ribuan keluarga nelayan yang menggantungakan hidup dari memancing, seperti keluarga Pemawathie, telah berpindah ke desa-desa pesisir yang jauh dari Samudera Hindia.
Namun, beberapa minggu sebelum pemilihan presiden tahun 2005, pemerintah memutuskan untuk mengurangi jarak zona penyangga, menjadi hanya 25 meter hingga 55 meter dari laut. Tindakan ini bertujuan untuk mengembangkan proyek pariwisata berskala besar, seperti yang dulu berada di Gale.
Hasilnya, sektor pariwisata Sri Lanka memang kembali bergejolak. Apalagi, konflik etnis dengan pemberontak Tamil telah berakhir sejak 2009 lalu.
"Tahun lalu, kami memiliki 1,27 juta wisatawan. Tahun ini, diperkirakan jumlah wisatawan naik hingga 1,6 juta orang. Rata-rata pertumbuhan wisatawan setiap tahun mencapai 15 persen," kata Hiran Cooray, direktur Otoritas Pengembangan Pariwisata Sri Lanka.
Namun, bagi warga asli seperti Pemawathie, hingar bingar sektor pariwisata dan prospek kemakmuran di Galle tidak membuatnya ingin kembali ke kota tersebut.
"Kami terlalu takut untuk kembali. Satu-persatu, tetangga saya di Galle dulu telah menjual tanah mereka," kata Pemawathie.