Jakarta, CNN Indonesia -- Majalah kontroversial berbasis di Perancis, Charlie Hebdo, merupakan majalah yang sebelumnya tidak disukai oleh sebagian besar masyarakat Perancis, karena kerap menyinggung berbagai agama. Namun, setelah serangan penembakan ke kantor majalah tersebut pada Rabu (7/1), simpati publik atas majalah kontroversial ini terus berdatangan.
"Sebelum serangan ini, majalah Charlie Hebdo hanya sedikit meraih simpati masyarakat, karena kartun-kartun satir yang diterbitkan majalah ini provokatif, dan terlalu keras," kata Francois Raillon akademisi dan Indonesianis yang berbasis di Perancis, ketika dihubungi CNN Indonesia, Kamis (8/1).
Raillon melihat serangan penembakan yang mengakibatkan 12 orang tewas dan sejumlah lainnya luka-luka tersebut, menarik simpati warga Perancis terlihat dengan berbagai demonstrasi pada Rabu (8/1) malam yang digelar baik di Paris maupun di sejumlah kota besar Perancis lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Siapapun yang melakukan serangan ini, tidak berhasil untuk membuat Charlie Hebdo dibenci masyarakat. Bahkan banyak media Perancis yang hari ini menampilkan berita utama dengan judul 'Saya Charlie'," kata Raillon.
Serangan penembakan yang menewaskan pemimpin redaksi Charlie Hebdo, Stephane Charbonnier, dan beberapa kartunis dalam serangan penembakan di kantor Charlie Hebdo mendorong gelombang dukungan untuk publikasi di Perancis dan di seluruh dunia.
Di media sosial Twitter, muncul gerakan dengan cuit "Je suis Charlie", yang berarti "Saya Charlie".
Pemerintah Perancis menyatakan keadaan berkabung selama tiga hari. Pagi ini, sudah terlihat beberapa bendera dikibarkan setengah tiang, tanda duka yang mendalam akibat tragedi ini.
Presiden Francois Hollande mengambil bertindak cepat dan saat ini perburuan besar-besaran dilakukan kepolisian Perancis untuk menangkap pelaku penembakan.
Raillon mencatat, sejak pertama kali didirikan, Charlie Hebdo memang penuh provokasi dan anti agama. Kultur anti-agama ini sudah ada sejak abad ke 18, di mana ketika itu Perancis menganggap agama sebagai sumber perang dan sumber kesulitan sosial.
"Perancis memang negara moderat, agama dianggap masalah pribadi. Namun, sebelum serangan ini, bahkan kaum moderat tidak senang dengan cara-cara provokatif yang dilakukan Charlie Hebdo," kata Raillon.
Pada November 2011, kantor Charlie Hebdo dibakar di hari penerbitan edisi dengan laporan utama yang mengejek hukum syariah Islam.
 Ribuan orang berkumpul di Manhattan pada Rabu (7/1) malam, sebagai aksi simpati atas penembakan Charlie Hebdo. (Reuters/Carlo Allegri) |
Gambar sampul majalah itu berupa satu versi kartun Nabi Muhammad yang mengenakan sorban dengan satu lingkaran berisi tulisan “100 cambukan jika kalian tidak mati karena tertawa.”
Pada September 2012, meski terjadi kemarahan global atas film anti-Islam berjudul “Innocence of Muslims,” majalah ini menerbitkan edisi yang menampilkan kartun Nabi Muhammad Telanjang dan gambar sampul dimana Nabi Muhammad naik kursi roda yang didorong oleh seorang Yahudi Ortodoks.
Namun, bukan hanya umat Islam yang menjadi sasaran karya-karya satir yang diterbitkan Charlie Hebdo. Beberapa tahun yang lalu, majalah ini mendapat tuntutan hukum dari kelompok katolik konservatif atas tuduhan penodaan agama.
Dalam upaya penyelesaian kasus tersebut, Francois Hollande yang kala itu belum menjabat sebagai presiden Perancis menjadi saksi di pengadilan tersebut. Beliau mendukung Charlie Hebdo, dengan alasan kebebasan pers.
Seperti dilaporkan CNN, sebelum serangan penembakan, Majalah Charlie Hebdo edisi terbaru bersampulkan karya karikatur Perancis kontroversial Michel Houellebecq.
Sampul tersebut menggambarkan seorang dengan topi penyihir, tengah merokok dan mengatakan, "Pada tahun 2022, saya akan ikut (puasa) Ramadhan".
(ama/stu)