Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --
Yusuf Arifin adalah wartawan senior dan pemimpin redaksi CNNIndonesia.com.Satire bukanlah masalah tertawa. Bukan pula sekadar lelucon. Apalagi bukan hal yang serius.
Bahwa satire biasanya (bisa) membuat orang tertawa–setidaknya tersenyum atau mengeryitkan dahi—itu betul. Bentuknya biasanya lelucon, betul juga. Sepertinya tidak serius, tidak salah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun kembalilah ke definisi apa itu satire, maka kita akan bisa menemukan bahwa satire kebalikan dari semua itu.
Kamus Oxford mendefinisikan satire sebagai penggunaan humor, ironi, melebih-lebihkan, atau sindiran untuk mengekspos dan mengritik kebodohan ataupun juga sifat buruk. Terutama sekali dalam konteks politik kontemporer atau isu-isu topikal.
Artinya satire muncul dari buah pemikiran dan perenungan akan suatu hal, dan ini membutuhkan kecerdasan tersendiri, hanya saja pengungkapannya lewat sesuatu yang terasa ringan.
Lagi-lagi pilihan ekspresi ini membutuhkan kecerdasan tersendiri. Karena keringanan ungkapan itu dimaksudkan untuk dimengerti oleh semua kalangan dan berbagai tingkat intelektualitas. Hanya orang-orang cerdas yang bisa melakukan ini.
Arti lainnya lagi, satire memang dimaksudkan sebagai sebuah ekspresi perlawanan, ketidaksetujuan akan sesuatu. Sebuah sikap yang menunjukkan perbedaan nilai antara yang membuat satire dan yang menjadi sasaran satire.
Ketika gerakan Protestan muncul di awal abad 16 hingga jauh memapankan diri di abad 17 misalnya, salah bentuk perlawanan mereka melawan hierarki Katolik adalah lewat pamflet-pamflet satire. Gambar Paus sebagai monster yang serakah muncul dimana-mana. Raja-raja Eropa yang menjadi pendukung utama Paus digambar sebagai malaikat penyebar kematian.
Hingga sekarang ini, bukan hanya lewat kartun, kalau kita menonton
stand up comedy akan bisa temui lawakan-lawakan yang anti gereja (Protestan maupun Katolik). Banyak bahan banyolan yang menertawakan apa yang dipahami oleh rakyat Eropa sebagai ketidakrasionalan kalangan gereja (beragama). Semuanya seolah meneruskan apa yang terjadi ketika pertentangan Protestan dan Katolik masih runcing hanya dengan kubu yang berbeda.
Persoalannya adalah bagaimana menyikapi ungkapan satire ini?
Kita bisa mengabaikannya, tertawa getir, ikut terbahak-bahak, atau menjawab dengan tidak kalah cerdasnya. Bisa ganti menyodorkan, mungkin, dengan satire tentang celah-cacat cara pikir mereka yang diawal mengajukan satire itu.
Kita bisa melakukan protes damai, melakukan lobi, atau menggunakan kelompok penekan (
pressure group) untuk memaksa agar satire itu, apapun bentuknya, dicabut atau dihentikan. Bisa juga dicoba lewat pengadilan.
Tentu tidak ada yang bisa mencegah ketika kemudian jalan kekerasan yang dipilih. Tetapi itu tidak cerdas, tidak manusiawi, menunjukkan kelemahan secara organisasional (politik), menunjukkan taring ketidakramahan, gelap mata dan abai kelembutan hati.
Satire (seperti halnya ide) tidak pernah bisa dibunuh dengan tindak kekerasan. Sejarah sudah berulang kali membuktikan itu.