Paris, CNN Indonesia -- Sehari setelah insiden di kantor majalah satire Charlie Hebdo yang menewaskan 12 orang, pemimpin Front Nasional Perancis, Marine Le Pen mengumumkan bahwa jika terpilih menjadi presiden dia akan menggelar referendum yang mengusulkan penerapan kembali hukuman mati di Perancis.
"Saya pribadi percaya bahwa hukuman mati harus di dalam penegakan hukum kita. Dan saya akan menyediakan referendum untuk mendengar opini warga Perancis terkait hal itu, " kata Le Pen kepada stasiun televisi lokal, France 2, seperti dikutip dari Al-Arabiya, Kamis (8/1).
Hukuman mati pernah diberlakukan di Perancis pada abad pertengahan hingga tahun 1977. Dalam periode tersebut,
guillotine menjadi satu-satunya metode eksekusi hukuman mati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tahanan terakhir yang dieksekusi mati adalah Hamida Djandoub pada September 1977.
Namun, sejak tanggal 9 Oktober 1981, hukuman mati dihapuskan dari ranah hukum Perancis di bawah kepemimpinan mantan presiden Mitterrand.
Banyak analis yang mengatakan peristiwa penembakan di kantor Charlie Hebdo yang kerap menerbitkan kartun yang menyinggung Islam, memberikan amunisi bagi tensi anti-Islam dan anti-imigran yang kini memang sedang meningkat di beberapa negara Eropa, termasuk Perancis.
Selama wawancara, Le Pen juga mengatakan bahwa dia akan berbicara dengan Presiden Francois Hollande tentang ektremis Islam di Perancis dan "langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk melindungi bangsanya."
"Fundamentalisme Islam menyebabkan ribuan kematian setiap hari di seluruh dunia," kata Le Pen.
Kantor majalah Charlie Hebdo diserang tiga orang bersenjata pada Rabu (7/1). Sebanyak 12 orang tewas dalam insiden tersebut, termasuk satu petugas polisi Muslim.
Seorang pelaku penembakan di kantor Charlie Hebdo, Hamyd Mourad yang berusia 18 tahun telah menyerahkan diri ke kantor polisi Charleville-Mezieres di Ardennes.
Namun, dua tersangka utama adalah Said Kouachi, 34 tahun, dan Cherif Kouachi, 32 tahun, masih diburu polisi hingga saat ini.
(ama/stu)