Beijing, CNN Indonesia -- Kelompok Hak Asasi Manusia AS Human Rights Watch mendesak Tiongkok mengubah rancangan undang-undang yang bertujuan memerangai terorisme karena rancangan itu seperti “ijin untuk melanggar hak asasi manusia”.
RUU yang diumumkan kepada publik sebagai langkah konsultasi terbuka pada November, menjadi dasar pendirian satu badan anti-terorisme yang memiliki kekuasaan untuk menyatakan organisasi dan anggotanya sebagai teroris tanpa proses peradilan.
Definisi terorisme dalam RUU itu antara lain “pikiran, pidato, atau perilaku” yang berusaha “ yang bisa “menumbangkan kekuasaan negara”, “memicu kebencian etnis” atau “memecahbelah negara”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Subversi dan memecahbelah adalah dakwaan yang telah digunakan untuk para pembangkang.
Direktur Human Rights Watch Tiongkok Sophie Richardson meminta agar RUU itu disesuaikan dengan standar internasional, dan mengatakan bahwa “RUU yang saat ini dibuat tidak lain seperti ijin untuk melanggar hak-hak asasi manusia”.
“Pemerintah Tiongkok perlu menghormati hak asasi, dan tidak membangun satu arsitektur pengawasan baru,” bunyi pernyataan tertulis Richardson.
RUU ini mewajibkan seluruh perusahaan telekomunikasi dan layanan internat membantu pemerintah mencegah penyebaran bahan-bahan terkait terorisme.
Tempat-tempat umum akan dilengkapi dengan alat pengenalan wajah - satu sistem yang “dengan mudah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau politik,” tulis Human Right Watch.
Tiongkok menekankan bahwa negara itu menghadapi perjuangan melawan terorisme yang serius dan rumit.
Ratusan orang tewas dalam dua tahun terakhir di wilayah Xinjiang dalam aksi kerusuhan yang menurut pemerintah Tiongkok dilakukan oleh kelompok Islamis yang ingin mendirikan negara terpisah bernama Turkestan Timur.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia dan pembelot mengatakan kebijakan pemerintah Tiongkok yang menekan sebagai penyebab kebencian dikalangan Muslim Uighur yang menjadi mayoritas penduduk di Xinjiang.
(yns)