Jakarta, CNN Indonesia -- Menyusul video penyanderaan Kenji Goto dan Haruna Yukawa, dua warga Jepang yang ditawan oleh kelompok militan ISIS, warga Jepang memberikan beragam reaksi. Sebagian warga Jepang meminta pemerintah membayarkan uang tebusan, sebesar US$200 juta, sehingga para sandera dapat dibebaskan. Namun, sebagian lainnya menolak untuk bekerja sama dengan teroris.
Kumitaka Oyake, warga Jepang yang berprofesi sebagai pengusaha menyatakan tuntutan ISIS tak perlu dipenuhi, karena tidak ada jaminan bahwa para sandera akan dikembalikan dengan selamat.
"Tindakan tersebut justru menempatkan Jepang dalam posisi yang lemah di antara negara-negara lain dalam memerangi terorisme. Memang mengerikan, namun Jepang sepertinya tak punya pilihan lain selain menegaskan bahwa kita tidak akan menyerah pada teroris," kata Oyake, dikutip dari Reuters, Kamis (22/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pendapat berbeda dilontarkan oleh Masako, seorang warga Tokyo. Menurutnya, pemerintah Jepang harus melakukan segala upaya untuk menyelamatkan para sandera.
"Saya tahu kita tak boleh menyerah pada teroris, namun dua pria itu adalah tawanan. Dari yang saya lihat di koran-koran, mereka adalah orang-orang baik. Saya tak bisa membayangkan kita betul-betul tak punya pilihan kecuali melihat mereka mati. Masyarakat Jepang berada dalam dilema saat ini," kata Masako.
Terbelahnya pendapat warga Jepang terkait penyanderaan ISIS diakui oleh Sigit Purnomo, warga Indonesia yang bekerja sebagai wartawan di Jepang.
"Ada yang meminta pemerintah Jepang berupaya untuk membebaskan dua warganya. Namun, ada juga yang 'menyalahkan' kedua sandera tersebut, yang nekat mengunjungi daerah konflik," kata Sigit, yang berada di Jepang selama satu tahun terakhir, ketika dihubungi CNN Indonesia, Kamis (22/1).
Sigit juga mengungkapkan bahwa terdapat kecurigaan dari warga bahwa militer Jepang kemungkinan membantu AS menggempur ISIS di Irak dan Suriah, sehingga penyanderaan ini sampai terjadi.
Namun, dugaan tersebut telah dibantah pemerintah Jepang yang menyatakan tidak akan menggunakan dukungan militer untuk negara-negara Timur Tengah yang sedang berjuang melawan kelompok militan ISIS.
"Bantuan yang selama ini Jepang berikan berupa bantuan kemanusiaan untuk para pengungsi," kata Kepala Sekretaris Kabinet, Yoshihide Suga dalam konferensi pers, dikutip dari kantor berita Jepang, Kyodo, Rabu (21/1).
Kegalauan Jepang
Jepang, nyatanya, tak punya banyak pilihan. Undang-undang Jepang tak mengijinkan pihak militer untuk melakukan penyelamatan sandera meski hal itu mungkin dilakukan. Namun, di sisi lain, membayar uang tebusan akan membuat Jepang di posisi yang canggung. Pasalnya, Jepang merupakan sekutu dekat Amerika Serikat yang secara tegas melarang membayarkan uang tebusan bagi pembebasan sandera.
Satu-satunya langkah yang dilakukan Jepang adalah meminta bantuan negara-negara Arab untuk berkonsultasi soal ISIS. Dilaporkan Reuters pada Kamis (22/1), Jepang mengirimkan Menteri Luar Negeri Yasuhide Nakayama ke Yordania untuk menangani situasi terkait penyanderaan ini.
Sigit mencermati bahwa sikap pemerintah Jepang seakan menggantung, dengan tak juga mengungkapkan langkah nyata untuk membebaskan para sandera.
Seperti dilaporkan ABC News, hingga saat ini satu-satunya inisiastif pembebasan datang dari Ko Nakata, pakar hukum Islam dan mantan profesor Universitas Doshisha, Kyoto.
Hadir dalam Persatuan Koresponden Asing Jepang, Nakata, yang pernah menjabat sebagai pakar hukum Islam di Kedutaan Besar Jepang di Arab Saudi, membacakan pesan dalam bahasa Jepang dan bahasa Arab untuk kelompok militan ISIS.
"Tujuh puluh dua jam adalah tenggat waktu yang terlalu pendek. Berikan waktu yang lebih panjang dan jangan mengambil tindakan apapun dalam waktu dekat ini," kata Nakata, dikutip dari ABC News, Kamis (22/1).
"Jika ada kesempatan untuk berdikusi dan bernegosiasi, saya siap," kata Nakata dalam pesannya.
Dalam pesannya tersebut, Nakata juga mendesak ISIS untuk menjelaskan rencana mereka, dan menunggu tawaran dari pemerintah Jepang.
Nakata juga mengusulkan uang tebusan yang diminta para sandera, yaitu sebesar US$200 juta diberikan dalam bentuk bantuan kemanusiaan untuk pengungsi dan penduduk di daerah yang dikuasai oleh ISIS, melalui lembaga bantuan Red Crescent.
"Crescent beroperasi di bawah kontrol ISIS. Mengapa tidak kita mencari mediasi Turki dan memberikan uang untuk orang-orang yang terkena dampak konflik di Irak dan Suriah? Saya yakin ini jalan keluar yang lebih rasional dan dapat diterima," kata Nakata.
(ama/nez)