Jepang Lancarkan Perang Informasi Sejarah Perang

Reuters | CNN Indonesia
Selasa, 10 Feb 2015 17:00 WIB
Pemerintah Jepang meningkatkan anggaran mempromosikan upaya perbaikan catatan sejarah Perang Dunia II yang dianggap salah, namun langkah ini ditentang.
Sejarah jugun Ianfu atau comfort women dari Malaysia dan Tiongkok ini adalah salah satu topik sejarah yang ingin diubah oleh pemerintah Jepang. (Internet/wikimedia)
Tokyo, CNN Indonesia -- Upaya Jepang untuk mengubah pandangan yang berkembang luas terkait masa lalu perang negara ini justru menyebabkan pertikaian yang berisiko mempengaruhi pesan positif kampanye hubungan masyarakat besar-besaran yang bertujuan mencari sahabat dari negara lain tersebut.

Kampanye hubungan masyarakat dengan anggaran US$500 miliar dolar ini dilaksanakan disaat Perdana Menteri Shinzo Abe berniat untuk tidak lagi bersikap merasa bersalah terkait tindakan Jepang sebelum dan semasa Perang Dunia II, dan mengendorkan belenggu UUD pasifis terhadap kebijakan pertahanan.

Sejarah bukan satu-satunya pusat perhatian kampanye itu. Sejumlah besar dana promosi ini akan digunakan bagi kegiatan untuk memupuk warga asing “pro-Jepang”, seperti mendukung studi Jepang di universitas dan mendirikan “Rumah Jepang” untuk mempromosikan Jepang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tetapi pemerintah juga mensasar tulisan mengenai masa perang dalam buku yang dibuat oleh penerbit buku pelajaran di luar negeri dan bentuk lain yang dipandang sebagai tidak benar dan merusak citra Jepang.

Dan satu upaya itu sudah berdampak negatif.

Sebanyak 19 ahli sejarah dari universitas di Amerika Serikat mengirim surat yang memprotes permintaan pemerintah Jepang kepada penerbit McGraw Hill Education untuk mengubah tulisan terkait “perempuan penghibur”, istilah yang digunakan di Jepang bagi kaum perempuan yang dipaksa bekerja di lokalisasi militer Jepang.

Permintaan itu ditolak oleh penerbit tersebut.

“Kami mendukung ahli sejarah di Jepang dan tempat lain yang telah bekerja untuk mengungkap fakta mengenai hal ini dan kekejaman lain semasa Perang Dunia II. Kami bekerja dan menghasilkan sejarah untuk menjadi pembelajaran dari masa lalu,” ujar surat yang dimuat di majalah American Historical Association, edisi Maret.

“Oleh karena itu, kami menentang upaya pemerintah atau kepentingan khusus lain menekan penerbit atau ahli sejarah untuk mengubah hasil penelitian mereka demi tujuan politik,” tulis surat itu.

Abe sendiri telah mengisyaratkan dukungan terhadap langkah hubungan masyarakat yang lebih agersif ini.

“Bersikap rendah diri tidak mendapat pengakuan di dunia internasional, dan kita harus mendebatkan satu pemikiran jika diperlukan,” ujarnya di hadapan satu panel parlemen baru-baru ini.

Upaya pemerintah Jepang ini terjadi di saat yang sensitif yaitu ketika Asia memperingati akhir dari 70 tahun Perang Dunia II dengan kenangan buruk yang belum hilang dari ingatan, terutama di Tiongkok, Korea Selatan dan Korea Utara.

Setelah anggaran untuk diplomasi publik terus berkurang selama satu dekade, kementerian luar negeri Jepang berhasil mendapat alokasi sebesar US$590 juta dolar untuk komunikasi strategis dalam anggaran tambahan tahun 2014/2015.

Prioritas Sejarah

Banyak politisi dan pejabat khawatir Jepang dikalahkan oleh diplomasi agresif negara pesaing di kawasan, Tiongkok dan Korea Selatan.

“Banyang negara berinvestasi dalam jumlah besar di bidang ini dan kami merasa tidak berinvestasi dalam jumlah yang cukup,” ujar seorang pejabat kementerian luar negeri Jepang.

Kubu koservatif menyambut baik anggaran lebih besar ini, tetapi menginginkan agar prioritasnya ditekankan pada perbaikan terhadap kesalahan yang dianggap ada dalam sejarah.

“Ketika kami melihat banyak kesalahpahamam atau prasangka terhadap sejarah Jepang, kami setidaknya ingin agar hal itu dibenarkan,” ujar Yoshiko Sakurai, seorang wartawan dan ketua Institut Fundamental Jepang, satu badan peneliti konservatif.

“Kami sudah kalah besar dalam (perang informasi). Kini saatnya kami memperbaiki,” ujarnya kepada Reuters.

Sadar akan dampak negatifnya, para diplomat tampaknya berhasil mengatasi tekanan mendirikan pusat-pusat “Rumah Jepang - yang akan didirikan di London, Los Angeles dan Sao Paule pada akhir 2016 - untuk memasarkan pandangan resmi Jepang terhadap sejarah.

Sekarang, fasilitas itu hanya akan menyediakan “satu landasan untuk diskusi yang seimbang” terkait topik-topik kontroversial misalnya dengan mensponsori seminar-seminar.

Namun para politisi konservatif menginginkan langkah yang lebih keras.

“Kami belum benar-benar puas. Dengan mengerahkan segala sumber daya, kita harus memperkuat strategi informasi Jepang… sehingga kita bisa membuat pihak lain mengerti dengan benar segala sesuatu yang baik tentang Jepang,” ujar Yoshiaki Harada, anggota Parlemen dari Partai Liberal Demokrat.

Para pakar mengatakan upaya pemerintah untuk mengubah sejarah akan kontra-produktif karena langkah ini justru membuat masa lalu Jepang terus menjadi perhatian masyarakat.

“Membuat orang terlibat dalam diskusi panjang mengenai sejarah…tampaknya mereka justru akan menyebut Jepang kejam terkait citra itu,” ujar Jennifer Lind, guru besar dari Dartmouth College. “Ini perang yang tidak akan bisa dimenangkan.” (yns)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER