Jakarta, CNN Indonesia -- Lebih dari satu dekade, Tiongkok dimahkotai gelar sebagai pasar bir terbesar merujuk pada jumlah penjualan. Pada 2017, negara ini juga digadang-gadang akan menduduki posisi puncak sebagai pasar bir terbesar dihitung dari hasil penjualan.
Namun, ada kemungkinan harapan tersebut pupus. Pasalnya, untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, produksi bir di Tiongkok menurun satu persen. Penurunan drastis terjadi pada Desember, yaitu sekitar 17 persen.
Beberapa ahli lantas menjabarkan beberapa kemungkinan penyebab terjadinya penurunan produksi ini, di antaranya adalah penurunan ekonomi dan keretakan pemerintahan akibat korupsi. Selain itu, salah satu alasan yang disorot adalah buruknya cuaca di Tiongkok selama setahun belakangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir Channel NewsAsia pada Kamis (12/2), dugaan tersebut diperkuat dengan pernyataan dari perusahaan bir dan minuman yang berbasis Inggris, SAB Miller. Mereka mengatakan bahwa kemerosotan produksi di Tiongkok sebesar 10 persen pada kuartal kedua yang kemudian diikuti dengan penurunan 9 persen pada kuartal ketiga memang disebabkan oleh cuaca buruk.
Keadaan ini dianggap mengkhawatirkan. Pasalnya, Tiongkok merupakan pasar strategis bagi SAB Miller. Tiongkok merengkuh 24 persen pasar bir dan 18 persen minuman non-alkohol SAB Miller.
Bukan hanya SAB Miller, Tiongkok juga merupakan pasar besar bagi perusahaan bir dan minuman asal Belgia, Anheuser-Busch InBev. Sekitar 95 persen pasar Asia Pasifik mereka dipegang oleh Tiongkok. Penjualan produk mereka di Tiongkok dilaporkan menurun 4,9 persen pada kuartal ketiga 2014.
Jalur perdagangan bir Tiongkok sendiri sudah ramai dengan pelaku bisnis luar negeri dan lokal. Menurut Euromonitor International, lima perusahaan bir besar Tiongkok menguasai 68 persen pembagian pasar.
Pemimpin pasar bir Tiongkok kini adalah perusahaan negara, China Resources Enterprise. Perusahaan ini berkongsi dengan SAB Miller untuk memproduksi merk bir terbesar di Tiongkok, Snow. SAB Miller memegang 49 persen saham dalam kongsi ini.
Posisi kedua ditempati oleh Tsingtao yang membagi 20 persen sahamnya dengan perusahaan bir asal Jepang, Asahi.
Sementara Anheuser-Busch InBev yang menduduki posisi ketiga selama beberapa tahun belakangan telah membeli sejumlah perusahaan bir lokal, termasuk Siping Ginsber pada 2014. Dengan pembelian ini, Anheuser-Busch InBev menancapkan pancang kuat dalam bisnis bir di Tiongkok.
Dalam peringkat lima teratas, terdapat pula nama perusahaan Beijing Yanjing Brewery yang dikabarkan berencana untuk menjual 20 persen sahamnya kepada perusahaan luar negeri. Carlsberg disebut-sebut akan menjadi calon kuat pembeli.
Menurut Analis Minuman Beralkohol dari Euromonitor International, Amin Alkhatib, pemerintah Tiongkok tidak akan membiarkan pasar bir negara mereka terkonsolidasi tinggi seperti Eropa atau bahkan Amerika Latin.
"Banyak perusahaan besar seperti China Resources Enterprise dan Beijing Breweries dan sebagainya, mereka dimiliki oleh negara dan pemerintah Tiongkok akan protektif dengan perusahaan ini. Mereka akan mengizinkan beberapa investasi luar negeri di dalamnya, tapi mereka tidak akan menyerahkan porsi mayoritas untuk investasi," papar Alkhatib.
Menegaskan maksudnya, Alkhatib berkata, "Jika memang ada konsolidasi, itu lebih mungkin terjadi antar-perusahaan Tiongkok, tapi bukan perusahaan bir global, bukan dengan pembuat bir global."
(stu)