Skizofrenia, Keluarga Terpidana Mati Minta Tunda Eksekusi

Hanna Azarya Samosir | CNN Indonesia
Selasa, 17 Feb 2015 19:40 WIB
Keluarga Rodrigo Gularte, terpidana mati kasus narkoba asal Brasil, menyatakan Rodrigo mengidap Schizophrenia, dan karenanya, tidak dapat dipidana.
Keluarga Rodrigo Gularte, terpidana mati kasus narkoba asal Brasil, menyatakan Rodrigo mengidap Schizophrenia, dan karenanya, tidak dapat dipidana. (Ilustrasi/Thinkstock/Denniro)
Jakarta, CNN Indonesia --
"Menunduk! Ada UFO akan turun! Saya dapat sinyalnya," ujar Rodrigo Gularte, warga Brasil yang merupakan salah satu terpidana mati terkait kasus narkoba di Indonesia seperti ditirukan oleh sepupunya, Angelita Muxfeldt, usai konferensi pers di Marquee Executive Office, Jakarta, Selasa (17/2).

Akibat kelakuannya ini, tidak ada yang mau terlalu dekat dengan Rodrigo di Lembaga Pemasyarakatan  Nusakambangan, Cilacap.

Rodrigo memang sering berhalusinasi dan keadaannya semakin buruk sejak 2012. Sejak saat itu, keluarga Rodrigo berjuang mencari penyebab halusinasi tersebut.

Setelah berkelana mencari pendapat dari lima dokter dan empat psikiater, keluarga Rodrigo sampai pada satu simpulan yang sama, yaitu bahwa Rodrigo mengidap penyakit paranoid schizophrenia sejak Juni 2014.

Menurut kuasa hukum Rodrigo, Ricco Akbar, seseorang yang mengalami sakit jiwa tidak bisa menjalani proses hukum merujuk pada Pasal 44 KUHP.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ayat satu dari pasal tersebut berbunyi, "Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena daya akalnya (zijner verstandelijke vermogens) cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana."
 
Pernyataan juga diperkuat dengan ayat dua yang berbunyi, "Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan."
 
Namun, untuk melakukan hal tersebut, harus ada surat rujukan dari dokter dan kepala lembaga pemasyarakatan.
 
Rujukan dari dokter sudah dikantongi oleh Angelita. Tinggal satu langkah lagi, seharusnya mereka bisa lepas dari hukum.
 
"Tapi, Kalapas tidak memberikan tanda tangannya hingga saat ini. Ini semua benar adanya, tapi tidak resmi. Saya bingung dengan ini semua," ucap Angelita.
Belum selesai masalah, keluarga kembali dirundung kemelut ketika mengetahui keadaan Rodrigo semakin parah.

"Dan Rodrigo tidak mau dibawa ke rumah sakit karena menurutnya, ia tidak sakit. Akhirnya kami bawa dokter ke lapas," tutur Angelita.

Air mata menetes ketika Angelita mengenang saat ia memberi kabar bahwa Rodrigo akan dieksekusi mati.

"Lihat, Rodrigo! Ini kamu yang ada di koran. Kamu akan dieksekusi mati. Lalu ia jawab, 'Tidak. Itu bohong. Hukuman mati sudah dihapus.'" ucap Angelita mengenang.

Sementara keluarga berkutat di Cilacap, Ricco berjuang di Jakarta. Pada 20 Januari, ia telah melayangkan surat ke Kejaksaan Agung yang menerangkan bahwa Rodrigo memiliki penyakit jiwa.

Tak hanya sekali, Ricco juga mengirimkan surat kembali pada 2 dan 10 Februari. Dalam surat tersebut, Ricco menjabarkan alasan eksekusi mati harus ditunda.

"Pancasila sila kedua, Pasal 28 UUD 1945, Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998," papar Ricco.

Namun, Angelita mengakui bahwa langkah ini terlambat.

"Mungkin ini terlambat, tapi ini benar. Lima dokter dan empat psikiater sudah bilang dia schizophrenia.  Bagaimana bisa dieksekusi?" katanya.

Rodrigo Gularte ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, pada 2004 karena menyelundupkan 6 kilogram heroin di papan seluncur.

Sementara itu, Kejaksaan Agung mengaku telah menerima laporan awal dari psikiater yang menangani Rodrigo, Kusumawardhani. Kejaksaan juga menerima surat dari Kepala Lapas Nusakambangan terkait laporan ini.

Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Tony Spontana, Kalapas meminta izin kepada Jaksa Agung, M Prasetyo, untuk melakukan pemeriksaan medis atas Rodrigo di luar Nusakambangan. Ini perlu dilakukan karena keterbatasan fasilitas di sana.

Kendati demikian, Tony mengatakan tidak akan ada perubahan terkait jumlah terpidana yang akan dieksekusi. Saat ini Kejaksaan Agung menunggu informasi tentang berapa lama Rodrigo akan menjalani pemeriksaan medis, untuk menentukan langkah selanjutnya. 
(ama)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER