Jakarta, CNN Indonesia -- Menjelang eksekusi mati yang akan dilakukan Indonesia, salah satu keluarga dari terpidana mati asal Perancis, Serge Atlaoui, yang terseret kasus narkoba mengaku akan menghormati hukum di Indonesia. Namun, mereka masih tetap menaruh harapan pada upaya hukum terakhir, yaitu Peninjauan Kembali (PK).
"Kami sangat menghormati hukum di Indonesia dan kami masih punya harapan upaya hukum PK suami saya bisa diperiksa," ujar istri dari Serge, Sabine Atlaoui, dalam konferensi pers di Kedutaan Besar Perancis, Jakarta, Kamis (26/2).
Senasib dengan beberapa terpidana mati lain, grasi yang diajukan Serge kepada Presiden Joko Widodo juga ditolak pada Januari lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, kuasa hukum Serge, Nancy Yuliana, mengatakan bahwa itu bukan berarti upaya hukum selanjutnya tidak dapat dijalani. Tim kuasa hukum akhirnya mengajukan PK ke Pengadilan Negeri Tangerang pada 10 Februari lalu dan sidang dijadwalkan digelar 11 Maret mendatang.
Nancy sendiri merasa PK ini harus segera dijalankan.
"Kasus ini belum terang. Peranan Serge di sini bukan pemilik, pengedar, tapi status hukumannya sama dengan pemilik," katanya.
Serge diringkus pada 2005 silam karena terlibat dalam aktivitas pabrik ekstasi di Cikende, Banten, sebagai teknisi mesin. Setelah proses peradilan, Serge akhirnya divonis hukuman mati di tahun 2007. Ini merupakan upaya pengajuan PK pertama Serge.
Sementara itu, direktur pabrik ekstasi tersebut, Budi Sucipto, dan komisarisnya, Benny Sudrajat kini masih dalam masa menunggu hasil putusan PK. Mereka divonis hukuman mati pada 2006 dan mengajukan PK tahun lalu.
Berdasarkan Undang-undang nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, apabila kejahatan dilakukan lebih dari satu orang, maka eksekusi dilakukan bersamaan terhadap para terpidana mati.
"Jika Serge tetap dieksekusi, berarti melanggar ketentuan. Bagaimana mungkin kalau upaya PK pelaku yang lain belum putus, Serge eksekusi? Kalau ada putusan berbeda, nanti sulit mengoreksi. Kejagung bisa pertimbangkan hal ini," ucap Nancy.
Ketika ditanyakan mengenai jeda waktu yang lama dari vonis mati ke pengajuan PK, Nancy menjawab, mereka memerlukan banyak waktu untuk mengumpulkan syarat dan bukti.
"Sampai sekarang barang bukti Serge tidak ada. Barang bukti adanya ekstasi di alat Serge tidak ada. Bahan baku MDMA tidak ada. Sisa cairan hanya ditemukan di peralatan pabrik. Peralatan dibuat oleh Serge tidak ada narkoba yang diproduksi," paparnya.
Oleh karena itu, Sabine memohon kepada pengadilan untuk menpertimbangkan dan menaruh perhatian besar terhadap keterangan suaminya.
"Kami masih punya harapan suami saya tidak dieksekusi. Kami memohon agar keterangan jujur dan sesungguhnya dapat didengar dan dipertimbangkan," kata Sabine.
Serge akan dieksekusi bersama sepuluh terpidana mati dalam kasus narkoba lainnya yang merupakan warga Brasil, Australia, Ghana, Nigeria, dan Filipina, serta empat warga negara Indonesia.
Di tengah terpaan protes dari berbagai pihak, Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan bahwa eksekusi mati akan tetap dilaksanakan, meskipun enggan mengungkapkan waktu tepatnya.
“Ditekan seperti apapun, kami akan jalan terus. Ini konsistensi penegakan hukum dan kedaulatan negara,” ucapnya.
Prasetyo mengungkapkan bahwa persiapan eksekusi sudah mencapai 90 persen. Begitu semua fasilitas siap, kata Prasetyo, eksekusi segera dilaksanakan.
(stu)