Jakarta, CNN Indonesia -- Pada pandangan pertama, Esther Okade terlihat seperti gadis berusia sepuluh tahun pada umumnya. Ia berpakaian seperti Elsa dalam film "Frozen", bermain Barbie, dan pergi ke taman.
Yang membuat bocah Inggris-Nigeria ini berbeda adalah, di usia dini, ia telah duduk di bangku kuliah. Anak yang tinggal di kota industri Inggris di West Midlands ini adalah salah satu mahasiswa termuda di negaranya.
Tak sekadar menjadi mahasiswa biasa di Open University, Esther juga memiliki prestasi gemilang dengan nilai 100 pada ujian matematika pada Januari lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini sangat menarik. Ini adalah tipe matematika yang aku suka. Matematika murni, teori, angka-angka kompleks, dan hal semacam itu. Sangat mudah. Ibu mengajarkan aku dengan cara yang menyenangkan," tutur Esther kepada
CNN, Selasa (10/3), sembari terkekeh.
Dengan penuh semangat, Esther menjabarkan proyeksi masa depannya.
"Aku ingin menyelesaikan (kuliah) dalam dua tahun. Kemudian aku akan mengambil PhD bidang matematika keuangan pada umur 13. Aku ingin memiliki bank sendiri saat umur 15 karena aku suka angka dan aku suka orang. Perbankan adalah cara yang baik untuk menolong orang," paparnya.
Dengan usia sangat muda, banyak orang beranggapan Esther dipaksa oleh orang tuanya untuk kuliah. Esther langsung menampik anggapan tersebut.
"Aku sebenarnya ingin memulai waktu masih berusia 7 tahun. Tapi, ibuku berkata seperti, 'Kamu masih terlalu muda, tenanglah.' Setelah tiga tahun memohon, Ibunya, Efe, akhirnya setuju untuk mengeksplorasi ide itu," tutur Esther.
Jiwa matematika yang luar biasaPermintaan Esther tersebut dirasa tidak muluk. Pasalnya, Esther memang dikenal sangat ahli dalam matematika. Sejak menginjak usia belajar, Esther kerap lompat kelas.
Esther baru berusia enam tahun ketika menyelesaikan tes Matematika GSCE, kualifikasi matematika sekolah tingkat atas, di Ounsdale School, Wolverhampton, dengan nilai C. Tak puas, setahun kemudian Esther mengambil tes yang sama dan akhirnya mendapatkan nilai A. Tahun lalu Esther meraih skor B saat menjalani ujian matematika level A.
Ibunda Esther sudah menyadari bakat anaknya tak lama setelah ia memulai
home schooling pada usia 3 tahun. Awalnya, orang tua Esther memasukannya ke sekolah privat, tapi setelah berberapa pekan mereka berganti haluan.
"Suatu hari, kami pulang ke rumah dan ia mengamuk sambil menangis dan berkata, 'Aku tidak pernah mau kembali ke sekolah itu. Mereka bahkan tidak mengizinkan aku berbicara!'" kata Efe.
Menurut Efe, hal ini sudah dapat diprediksi.
"Di Inggris, Anda tidak perlu memulai sekolah sampai berusia lima tahun. Edkuasi tidak diwajibkan hingga mencapai usia itu, jadi saya berpikir baiklah, kami akan melakukan hal kecil di rumah sampai umur itu. Mungkin saat ia berusia lima tahun, ia akan berubah pikiran," papar Efe.
Sang ibu lantas mulai mengajarkan kemampuan angka dasar, tapi Esther bergerak jauh lebih maju. Pada usia empat tahun, bakat alamiahnya untuk matematika membuatnya bersemangat mempelajari aljabar dan persamaan kuadrat.
Ternyata, Esther bukan satu-satunya jenius matematika di keluarganya. Adik laki-lakinya, Isaiah, 6, akan menjalani ujian matematika kelas A pertamanya pada Juni mendatang.
Keluarga filantropisTak puas hanya dengan memecah batas umur kuliah pada 10 tahun, Esther juga menulis serial buku latihan matematika berjudul "Yummy Yummy Algebra" bagi anak-anak.
"Ini dimulai dengan tingkat pemula, jilid pertama. Namun, nanti akan ada jilid kedua, dan jilid ketiga, lalu jilid kempat. Tapi, saya baru menulis jilid pertama. Selama kamu dapat menambah atau mengurang, kamu bisa melakukannya. Aku ingin menunjukkan kepada anak lain bahwa mereka spesial," tutur Esther.
Sementara itu, orang tua Esther juga sedang berusaha membawa jejak pendidikan mereka kembali ke Nigeria. Pasangan suami istri ini sudah membangun yayasan dan tengah merencanakan pembangunan sekolah dasar dan keperawatan di daerah Delta di Nigeria, tempat asal mereka. Diberi nama Shakespeare's Academy, mereka berharap sekolah itu sudah dapat dibuka pada September mendatang.
Kurikulum yang dicanangkan meliputi pelajaran umum seperti Bahasa Inggris serta bahasa lain, matematika, ilmu alam, termasuk juga tambahan materi lain seperti pendidikan moral, etika, berbicara di depan publik, dan wirausaha. Pasutri ini mengatakan bahwa mereka ingin mengembangkan metode belajar yang digunakan oleh anak mereka ketimbang fokus pada cara belajar lain.
"Beberapa anak belajar sangat baik mengenai kinetik, di mana mereka belajar dengan tangan mereka, saat mereka menggambar dan mengingat hal lain. Beberapa anak memiliki imajinasi yang sangat kreatif. Daripada mencoba mengajari anak dengan satu cara, Anda mengajari mereka dasar cara belajar mereka sendiri," papar Efe.
Fasilitas belajar di Shakespeare's Academy dapat menampung dua ribu hingga 2.500 siswa dengan 30 persen di antaranya adalah warga lokal yang ditawarkan program beasiswa.
"Pada satu sisi, miliaran dollar minyak mentah dipompa keluar dari wilayah itu setiap bulan, tapi angka kemiskinan dari masyarakat adat sangat tinggi," katanya.
Memaparkan lebih lanjut mengenai sorotan sekolah yang akan mereka dirikan, suami Efe, Paul, mengatakan, "(Nigeria) memiliki pendidikan dasar dan keperawatan dengan kualitas buruk. Jadi pada saat anak-anal mengikuti pendidikan sekunder, mereka tidak mengerti apa-apa. Mereka tidak membangun kemampuan dasar mereka. Sekolah ini didesain untuk memberikan anak-anak cita-cita agar mereka dapat mempelajari sesuatu, tidak hanya demi mendapatkan sertifikat. Harus ada tujuan akhir."
(stu/stu)