Simferopol, CNN Indonesia -- Setahun sudah Semenjung Krimea bergabung bersama Rusia. Sejak Senin (16/3), warga Krimea turun ke jalan dengan membawa bendera Rusia, mengenakan kaus bergambar wajah Presiden Rusia Vladimir Putin, serta menonton pertunjukan seni dalam perayaan satu tahun "kembalinya" Krimea ke tangan Rusia.
Perayaan tersebut rencananya akan berlangsung selama beberapa hari. Pada Rabu (18/3), konser musik besar-besaran akan diadakan di ibu kota Simferopol.
Namun, dibalik perayaan satu tahun aneksasi Rusia di wilayah ini, krisis ekonomi tengah menerpa daerah yang berpisah dari Ukraina sejak 18 Maret 2014 lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nyatanya, sejak setahun berada di bawah kendali Rusia, tingkat investasi asing anjlok dan sektor perbankan lumpuh. Banyak warga harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Krimea akan menjadi daerah terpencil dari Rusia. Apa yang baik di sini? Harga-harga melambung sementara besaran gaji tak seberapa. Menggelikan," ujar Nikolai, seorang sopir taksi berusia 35 tahun menggerutu, sembari menghindari jalanan berlubang yang rusak di pusat kota Simferopol, dikutip dari Reuters, Selasa (17/3).
Hidup warga Krimea yang sudah cukup sulit ketika bergabung dengan Ukraina tidak dapat dikatakan membaik ketika wilayah semenanjung ini bergabung dengan Rusia. Pasalnya, Krimea ikut terkena imbas dari sanksi ekonomi negara Barat atas Rusia.
"Warga biasa Rusia kalah dengan aneksasi Krimea," kata Sergei, pengecer barang konstruksi dari Kiev yang pindah ke Simferopol tahun lalu dengan istri dan anak-anaknya setelah Ukraina diliputi serangkaian tindak kekerasan.
"Di seluruh Rusia, harga akan naik. Ada sanksi ekonomi dan rubel telah terdevaluasi," kata Sergei sembari menutup jendela dapur agar tetangganya tidak mencuri dengar pernyataannya.
Zhan Zapruta, seorang pengacara yang berbasis di Simferopol menyatakan bahwa otoritas Krimea telah menasionalisasi sejumlah perusahaan Ukraina tahun lalu.
"(Perdana Menteri Sergei) Aksyonov ingin mengembalikan Krimea ke kondisi era Soviet, berupaya dengan segala cara untuk menghasilkan uang," kata Zapruta.
Sementara Aksyonov menolak tuduhan tersebut dengan menyatakan, "Kami tak ada keinginan untuk menasionalisasi".
Namun, warga mengklaim bahwa investasi bisnis asing tertunda karena masalah keamanan dan peraturan.
Selain itu, sejumlah masalah lainnya juga membekap semenanjung ini, seperti kasus penculikan dan penahanan sewenang-wenang dari aparat militer.
Etnis Tatar yang beragama Muslim dengan populasi sekitar 240 ribu jiwa di Krimea menyatakan bahwa mereka menerima perlakuan diskriminatif dan intimidasi.
Putin Tidak MenyesalMeskipun Uni Eropa dan Amerika Serikat dengan cepat menjatuhkan sanksi pada Moskow, Putin menegaskan dia tidak menyesal melakukan pencaplokan Krimea.
 Sejak setahun berada di bawah kendali Rusia, tingkat investasi asing anjlok dan sektor perbankan lumpuh. (Reuters/Maxim Shemetov) |
"Tujuan utamanya adalah untuk memberikan kesempatan warga (Krimea) untuk mengekspresikan pendapat mereka tentang nasib mereka di masa depan," kata Putin dalam sebuah film dokumenter televisi yang ditayangkan pada Minggu (15/3), dikutip dari Russia Today.
Sementara, Perdana Menteri Rusia, Sergei Aksyonov menyatakan sebagian besar warga Krimea mendukung aneksasi Rusia.
"Tingkat popularitas presiden Rusia di Krimea hampir 100 persen. Sembilan dari 10 orang mengatakan mereka mendukung (aneksasi), dan akan memilih dengan cara yang sama lagi," kata Aksyonov.
Krimea bergabung dengan Rusia sejak 18 Maret 2014 setelah referendum menunjukkan bahwa 97 persen warga Krimea memilih bergabung dengan Rusia.
Referendum terjadi setelah penggulingan mantan presiden Ukraina Viktor Yanukovich pada 22 Februari 2014 lalu.
Putin menyatakan saat itu situasi di Krimea rawan pertumpahan darah, dan nyawa Yanukovich terancam, sehingga Rusia harus mengirimkan pasukannya ke Krimea.
"Saya meminta Departemen Pertahanan kami untuk melindungi kehidupan presiden Ukraina. Kalau tidak, dia akan tewas," kata Putin.
Dalam dokumenter tersebut, Putin juga meluncurkan tuduhan bahwa Amerika Serikat berada di balik penggulingan Yanukovich dan menegaskan bahwa
Rusia siap mengoperasikan senjata nuklir di Krimea. (ama/stu)