Sanaa, CNN Indonesia -- Setiap malam terjadi upaya sia-sia dimana senjata milik kelompok Houthi di Yaman menembaki pesawat F-15 milik Arab Saudi yang terbang di atas mereka.
Namun, senjata Kalashnikov milik para gerilyawan ini akan lebih tangguh jika Arab Saudi memutuskan untuk melakukan serangan darat.
Kairo dan Riyadh mengatakan pada Selasa (21/4) pagi bahwa kedua negara tengah membicarakan satu “manuver militer besar-besaran” di Arab Saudi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini satu isyarat bahwa pengeboman yang dilakukan aliansi pimpinan Arab Saudi terhadap kelompok Houthi mungkin akan lebih berhasil jika diikuti dengan ancaman serangan darat di wilayah Yaman.
Serangan udara tidak banyak mengalami kemajuan sejak dimulai pada 26 Maret, setelah sayap militer Houthi yang beraliansi dengan Iran menguasai sebagian besar wilayah Yaman.
Arab Saudi dan sekutunya memandang langkah Houthi ini sebagap perpanjangan kekuasaan Iran ke wilayah dekat Arab Saudi yang tidak bisa diterima, tetapi aliansi ini tidak berkomitmen untuk melakukan invasi ke Yaman.
Kelompok Houthi yakin pengalaman mereka dalam perang gerilya di wilayah pegunungan Yaman utara akan bisa menghentikan gerakan musuh. Dalam perang melawan pasukan pemerintah Yaman yang didukung Arab Saudi 200 pada 2009-2010 tentara negara itu tewas.
“Koalisi Amerika-Arab Saudi sadar bahwa serangan darat bisa gagal, terutama dengan laju militer Yaman yang didukung oleh kelompok Houthi di berbagai penjuru,” ujar Mohammad al-Bukhaiti, anggota politbiro Houthi, kepada kantor berita Reuters.
Para pejuang Syiah,yang meski kalah dalam persenjataan tapi mengklaim sebagai pemenang dalam gerakan yang mereka sebut sebagai revolusi melawan militan al Kaidah dan boneka barat, terus melaju di berbagai pertempuran di Yaman.
Musuh mereka di darat terdiri dari unit-unit militer Yaman yang masih setia pada pemerintah dukungan Arab Saudi yang para pemimpinnya telah melarikan ke Riyadh dan kelompok Sunni setempat baik militan ataupun bukan.
Sementara itu, stasiun televisi Houthi menyiarkan pidato seorang tentara Houthi dari pangkalan militer yang baru mereka rebut. Dia mengeluarkan peringatan kepada musuh kelompok ini.
“Kami mengatakan kepada anda: Kerajaan Saud, Amerika dan Israel tidak bisa menolong anda,” katanya, sementara sejumlah tentara yang mengenakan pakaian tradisional memamerkan senjata mereka di depan kamera.
Sekutu KuatDari 2002 hingga 2009, pemerintah Yaman terlibat enam kali perang melawan kelompok perlawanan Houthi yang menyebabkan desa-desa di dataran tinggi Yaman Utara hancur berantakan.
Dataran Tinggi Yaman Utara merupakan basis kelompok Syiah sekte Zaydi.
Tetapi militer Yaman gagal menghancurkan para pejuang, yang pada September 2014 berhasil mengambil alih kekuasaan di Sanaa dan sebagian besar wilayah negara itu.
 Tentara yang setia pada Presiden Hadi yang didukung Arab Saudi terus melakukan serangan di dalam wilayah Yaman. (Reuters/Stringer) |
Bukan hanya semangat yang membantu keperkasaan mereka ini, aliansi dengan mantan presiden dan anggota militer yang setia kepadanya juga banyak membantu.
Ali Abdullah Saleh memerintah Yaman selama lebih dari tiga dekade dan militer pemerintahannya sempat menjadi pengganjal bagi Houthi. Tetapi setelah revolusi Arab memaksanya mundur pada 2012, dia bergabung dengan mantan musuhnya itu untuk menyerang pendukung presiden baru Abd-Rabbu Mansour Hadi yang didukung Arab Saudi.
Iran dan kelompok Houthi menyangkal memiliki hubungan militer dan ekonomi, tetapi pada Desember 2014 seorang pejabat senior Iran mengatakan kepada Reuters bahwa ada “beberapa ratus” personel pasukan elit Iran berada di Yaman untuk melatih para pejuang Houthi, dan sekitar seratus milisi Yaman dilatih di Iran pada tahun itu.
Pada Minggu (19/4) Abdel-Malel al-Houthi, ketua kelompok ini, mengatakan bahwa Yaman tidak akan menyerah dan bertekad untuk bertahan “dengan segala cara”.
Para pejabat Houthi mengatakan sedang berusaha merundingkan solusi atas krisis politik yang terjadi, tetapi perang di darat bisa memperkuat posisi mereka.
“Berperang bukan satu hal yang ditakuti oleh Houti, dan jika kemudian terjadi pertempuran di darat, mereka akan memiliki kartu tambahan karena pengalaman mereka,” ujar Farea al-Muslimi, peneliti di Pusat Penelitian Timur Tengah Carnagie.
“Mereka bukan kelompok yang berkuasa lewat pemilu, tetapi melalui paksaan, dan gerakannya di masa depan kemungkinan tidak akan berubah meski ada tekanan besar pada kelompok ini dan rakyat Yaman,” tambahnya.
Pedang, TankKedigdayaan Houthi membuat mereka yakin bisa melenyapkan militan Sunni dari negara itu.
Kelompok militan Sunni ini menyebut Houthi sebagai non-mulsim yang pantas dibunuh dan bulan lalu dua mesjid Houthi di Sanaa dibom sehingga 137 orang tewas.
 Serangan-serangan udara Aliansi pimpinan Arab Saudi belum berhasil mengendorkan perlawanan Houthi di Yaman. (Reuters/Stringer) |
Cabang al Kaidah di Yaman adalah jaringannya yang paling ambisius, kelompok ini melakukan perlawanan terhadap pemerintah Yaman selama satu dekade dan berencana meledakkan pesawat penumpang yang terbang ke Amerika Serikat.
“Kami melawan milisi Hadi, yang meliputi elemen-elemen al Kaidah, agar Yaman Selatan bersih dari pengaruh al Qaidah,” ujar al-Boukhati.
Tentara dan milisi saling bahu membahu di medan perang seluas ratusan kilometer ini.
Tetapi aliansi di Yaman cenderung rumit. Dalam wawancara pada Minggu (19/4) Saleh mengatakan akan “menghadapi dengan positif” resolusi Dewan Keamanan PBB yang meminta gencatan senjata
“Peran tentara Saleh di garis depan tidak pasti, dan jelas terlihat bahwa Houthi memiliki tekad yang lebih nyata dan juga struktur komando yang tidak dimiliki oleh unit militer Saleh,” ujar seorang politisi Yaman yang menolak disebutkan namanya.
Bagi tentara Houthi seperti Mohammed al-Asseri di Sanaa, pengeboman lingkungan rumahnya dan tekad PBB tidak cukup untuk menghentikan ambisi mereka.
“Dewan Keamanan atau negara manapun yang mengebom Yaman atau mengepung negara ini harus bertanggungjawab pada rakyat Yaman,” katanya.
(yns)