LAPORAN KHUSUS

Makan Nasi Garam Sehari Sekali, Ratusan Rohingya Tewas

Denny Armandhanu | CNN Indonesia
Rabu, 20 Mei 2015 09:11 WIB
Ratusan warga Rohingya yang melarikan diri dari kampung halaman mereka di Myanmar tewas di tengah samudera karena hampir tidak makan dan minum.
Ratusan warga Rohingya yang melarikan diri dari kampung halaman mereka di Myanmar tewas di tengah samudrera karena hampir tidak makan dan minum. (Reuters/Aubrey Belford)
Aceh, CNN Indonesia -- Perjalanan warga Rohingya mencari selamat dari penyiksaan dan pembunuhan di Myanmar menemui nasib tragis saat mereka harus terkatung-katung berbulan-bulan di lautan. Ratusan dari mereka tewas karena tidak sanggup hidup nyaris tanpa makanan dan minuman di tengah samudera.

Muhammad Kamal Hussain, pengungsi Rohingya yang kini ditampung di Kuala Cangkoy, Aceh Utara, mengatakan kapalnya saat itu berisikan sekitar 600 orang saat berangkat dari Thailand menuju entah kemana. Di perjalanan, ratusan meninggal dunia.

"Awalnya kami ada sekitar 600 orang, meninggal sekitar 200 di lautan, 100 lebih di antaranya pria, sisanya wanita dan anak-anak," kata Hussain saat ditemui CNN Indonesia, Selasa (19/5) di kamp penampungan pengungsi Kuala Cangkoy, Aceh Utara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hussain mengatakan bahwa dia adalah warga Rohingya di Guladil, Rakhine, Myanmar. Di tempat tinggalnya, pemuda 22 tahun ini mengaku ditindas, bahkan oleh tentara pemerintah sendiri.

Rohingya memang dianggap sebagai kelompok minoritas paling menderita di dunia lantaran tidak memiliki kewarganegaraan. Pemerintah Myanmar menolak mengakui mereka, sehingga kebanyakan Rohingya tidak memiliki identitas, menyulitkan mereka mendapatkan pekerjaan dan akses kesehatan.

"Kami diusir, jika kami tidak pergi maka kami akan dibunuh," ujar Hussain.

Dioper sana-sini

Dia bersama ratusan warga Rohingya lainnya lantas mengungsi ke Bangladesh pada awal tahun ini. Namun perlakuan yang sama mereka alami. Hussain dan kaumnya kemudian dideportasi ke Myanmar.

Di Myanmar, mereka kembali diasingkan, tidak dianggap warga setempat, dilabeli pendatang dari Bangladesh dan akan dikirim ke negara itu. Hidup serba salah dan dioper kesana-kemari, Hussain memutuskan mengungsi dengan kapal milik pengusaha asal Thailand.

"Per orang kami harus membayar pada pemilik kapal dari Thailand. saya tidak punya uang tetapi memaksa naik. Walau harus mati, saya harus pergi dari Myanmar," ujar Hussain di tempat penampungan Lhokseumawe.

Hal yang sama dialami oleh warga Bangladesh yang hendak menuju Malaysia untuk mencari kerja, Muhammad Hasyim. Dia membayar 8.000 ringgit agar bisa ikut kapal tersebut. Tanah dan rumahnya dijual untuk membayarnya.

"Saya meninggalkan istri dan dua orang anak di Bangladesh untuk bekerja di Malaysia. Tapi kami ditipu, orang Thailand itu kabur, dan kami dibiarkan di lautan," kata pria 40 tahun ini,

Bukannya dikirim ke negara lain, mereka dibiarkan terkatung di laut Thailand selama sekitar satu bulan. Mereka dipukuli, Hussain memperlihatkan bekas luka di punggungnya akibat sayatan bayonet.
Anak Rohingya yang mendarat di Aceh menerima perawatan medis. (Reuters/Roni Bintang)
Pengungsi di lima kapal disatukan di satu kapal. Sekitar 600 orang berdesakan di dalam satu kapal tersebut, bercampur baur pria, wanita dan anak-anak. Hussain mengatakan, saking sempitnya kapal tersebut, mereka harus duduk meringkuk tanpa ada ruang untuk sekadar selonjor.

"Jika kami berdiri, kami dipukul," kata Hussain.

Pemilik kapal dan para tukang pukulnya kemudian meninggalkan mereka sendiri di lautan. Akhirnya, salah satu pengungsi mengambil alih kemudi dan menjalankan kapal, entah kemana.

"Saya berada di kapal yang berisikan 600 orang. Ada kapal lainnya yang berisi 700 orang, kapal ini kehabisan bahan bakar dan masih ada di lautan," imbuh dia.

Makan nasi dan garam

Hussain dan Hasyim mengaku hidup sengsara di dalam kapal. Mereka hanya dibekali oleh pemilik kapal dengan nasi, garam dan air yang jumlahnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan ratusan orang. Apalagi di kapal itu ada anak-anak yang sangat membutuhkan nutrisi.

Selama empat bulan mereka terkatung di lautan sebelum akhirnya mendarat di pantai Aceh Utara pekan lalu. Selama itu, mereka sebisa mungkin irit makanan. Yang tidak kuat akhirnya meninggal dunia.

"Kami menjatah makanan. Nasi dengan garam satu orang satu kali sehari. Minum juga satu kali. Mereka yang meninggal, kami kubur di laut," jelas Hussain.

"Makanan hanya ada air, gula, garam dan nasi," ujar Hasyim di tempat terpisah.

Mereka mengaku senang disambut baik di Indonesia, khususnya di Aceh. Baik Hasyim dan Hussain berharap bisa terus tinggal di provinsi ini. Namun ada kemungkinan warga Banglades yang kini dipisahkan dari Rohingya akan dideportasi ke negara mereka. Sementara Hussain belum jelas nasibnya.

"Saya ingin tinggal di sini. Lebih baik saya mati dari pada tidak bisa tinggal di sini," ujar dia. (stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER