Aceh, CNN Indonesia -- Baru saja berangkat melaut, para nelayan di Kuala Langsa, Aceh, harus menanggalkan pukat mereka dan berhenti mencari ikan demi menyelamatkan ratusan pengungsi Rohingya dan Bangladesh di lautan.
Sunan, 38, mengatakan saat itu sekitar pukul 6 sore, Kamis pekan lalu saat sebuah kapal nelayan kecil menghampiri mereka, mengaku melihat banyak sekali orang di atas kapal, beberapa di antaranya bahkan ada di dalam air. Lantas saja, Kapal Sunan dan beberapa kapal lainnya menghampiri.
"Begitu mereka melihat kami, beberapa melompat ke air. Ada yang berenang, ada yang begitu sampai air tidak muncul lagi, tewas tenggelam, mungkin karena perut kelaparan sehingga tidak ada tenaga," kata Sunan pada CNN Indonesia di pelabuhan Kuala Langsa tempat ratusan pengungsi ditampung, Kamis (21/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sunan mengaku sedih melihat keadaan para pengungsi tersebut. Saking padatnya kapal, warga Rohingya dan Bangladesh ini hanya duduk dengan kaki tertekuk. Namun paling memilukan adalah melihat wanita dan anak-anak balita didalamnya.
"Ketika melihat anak-anak kecil, usia balita, hati saya teriris. Akhirnya kami memutuskan tidak mencari ikan dan membantu mereka," ujar Sunan.
Padahal, saat itu dia baru saja berangkat melaut. Biasanya, dia melaut selama 4-5 hari dan menangkap ikan paling tidak dua ton, tergantung musimnya.
Menyelamatkan Rohingya, Sunan dan para nelayan lainnya terpaksa kehilangan penghasilan, namun mereka tidak menyesal.
"Kami tidak menyesal menyelamatkan mereka, ini kebanggaan bagi kami jadi pelaut. Di laut jika ada yang butuh pertolongan pasti dibantu," ujar Sunan.
Sekitar enam kapal nelayan turut membantu upaya penyelamatan setelah dikontak. Satu per satu pengungsi dinaikkan ke kapal. Mereka berada di sekitar 40 mil dari pantai, perjalanan ke daratan membutuhkan waktu sekitar 4-5 jam.
Di kapal, bekal melaut selama empat hari langsung dimasak untuk memberi makan para pengungsi yang selama berbulan-bulan kurang asupan makanan.
 Pengungsi laki-laki dicukur rambutnya ketika diadakan cukur rambut massal di tempat penampungan di Kuala Langsa, Aceh. (Antara/Rony Muharrman) |
"Bekal untuk melaut kami masak, ada ikan kami bakar. Mereka awalnya berebut, tapi kami bilang utamakan wanita dan anak-anak," kata Sunan.
Namun sesampainya di pelabuhan, para pengungsi tidak bisa langsung ke darat karena masih harus mendapatkan persetujuan dari polisi air. Sunan menyayangkan sikap yang mengecam tindakan nelayan dan mengancam akan memenjarakan mereka jika melakukan penyelamatan lagi.
"Polisi air itu mengatakan bahwa di Malaysia dan Thailand orang-orang ini tidak diterima. Dia bilang kami akan dipenjara jika membantu orang ini lagi. Tapi kami tidak peduli, karena ada anak-anak di dalamnya. Tadinya jika mereka tidak juga boleh ke darat para nelayan akan demonstrasi," lanjut Sunan.
Sunan memang tak akan dipenjara, terlebih setelah pada Rabu, para menteri luar negeri dari Indonesia, Malaysia dan Thailand bertemu di Putrajaya, untuk membicarakan krisis imigran yang kini terkatung di perairan ketiga negara.
Dalam pernyataan bersama yang dihasilkan dari pertemuan itu, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk memberikan pemukiman sementara bagi sekitar 7.000 para imigran yang berada di perairan kedua negara dan dalam setahun akan melakukan repatriasi, mengembalikan mereka ke negara asal.
(stu)