Dipukuli dan Kelaparan, Imigran Rohingya Kembali ke Myanmar

Amanda Puspita Sari | CNN Indonesia
Jumat, 22 Mei 2015 11:27 WIB
Sejumlah imigran Rohingya yang tak tahan hidup dalam perahu sempit yang terkatung-katung di laut memutuskan kembali ke kamp pengungsian di Myanmar.
Setidaknya 50 orang Rohingya memutuskan kembali selama akhir pekan lalu setelah membayar kapten kapal sebesar US$200, atau sekitar Rp 2,5 juta, hingga US$300 atau Rp3,8 juta per orang pada akhir pekan lalu. (Reuters/Olivia Harris)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah imigran Rohingya yang tak tahan hidup berdesakan dalam perahu sempit yang terkatung-katung di perairan Thailand memutuskan kembali ke kamp pengungsian di Myanmar.

Sering dipukul dan menderita kelaparan di dalam kapal, setidaknya 50 orang Rohingya memutuskan kembali selama akhir pekan setelah membayar kapten kapal sebesar US$200, atau sekitar Rp 2,5 juta, hingga US$300 atau Rp3,8 juta per orang pada akhir pekan lalu, ketika perahu masih berada di sekitar perairan Thailand.

Tindakan keras yang diterapkan Thailand terhadap jaringan penyelundupan manusia, menyebabkan setidaknya tiga kapal yang bermuatan penuh imigran dari Myanmar dan Bangladesh terkatung-katung di lepas pantai Myanmar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mereka yang memutuskan kembali ke kamp pengungsian menyatakan bahwa di atas kapal mereka dipukuli oleh kru kapal dengan besi dan rantai mesin jika mereka meminta tambahan makanan. Dengan persediaan makanan yang jauh dari cukup, banyak imigran yang kelaparan, dan hanya mengisi perut dengan tiga gelas air dan dua genggam beras per hari hingga tiga bulan.

"Rute penyelundupan terganggu, sehingga mereka membiarkan para imigran kembali dengan syarat membayar US$200 per orang," kata Kyaw Hla, pemimpin komunitas Rohingya yang membantu membawa kembali sekitar 20 Rohingya dalam dua kelompok, dikutip dari Reuters, Kamis (21/5).

Dengan dimulainya musim hujan dan tidak ada kemungkinan masuk ke Thailand, kapten kapal memutuskan untuk menerima sekitar sepersepuluh biaya penyelundupan untuk memulangkan para imigran.

Salah satunya adalah Roshida, seorang janda berusia 25 tahun, yang meninggalkan kamp Say Tha Mar Gyi sejak tiga bulan yang lalu. Kamp itu berlokasi di dekat Sittwe, ibu kota negara bagian Rakhine, yang dahulu sempat dihuni oleh sekitar 13 ribu etnis minirotas Rohingya, di tengah mayoritas umat Buddha. Setelah kekerasan sektarian meletus pada 2012 lalu, sebagian besar menjadi tunawisma.

Roshida melarikan diri dari kamp tersebut dengan dua putranya dan satu putrinya yang baru berusia sembilan bulan.

"Untuk pergi, dan kemudian kembali, saya menjual semuanya: jatah makanan saya selama di kamp dan rumah saya. Saya tak punya apa-apa," kata Roshida.

Di atas kapal, dia harus berjongkok selama berjam-jam dengan udara yang panas, kakinya menempel di bagian belakang wanita di depannya. Roshida mengaku kerap menyaksikan tindak kekerasan terhadap para imigran. Roshida juga menyaksikan dua orang imigran tewas dan kemudian dilempar ke kapal lain.

"Suatu hari, para kru kapal sedang makan nasi, dan anak saya mulai menangis, meminta makan. Mereka marah dan membakar lengannya dengan puntung rokok," kata Roshida menunjukkan bekas luka berbentuk bulat kemerahan di lengan anaknya.

Ketika mengetahui bahwa ada sejumlah kapal penyelundup yang berlabuh dekat dengan bibir pantai Myanmar, pemimpin kamp Maung Maung Soe, berinisiatif mengumpulkan uang dari masyarakat untuk menebus para imigran. Roshida, bersama sekitar 30 imigran lainnya akhirnya kembali.

Di kamp pengungsian Sittwe, kaum Rohingya hidup tanpa akses kesehatan. (Reuters/Soe Zeya Tun)
Dengan upaya Kyaw Hla, total sekitar 50 imigran Rohingya kembali ke sejumlah kamp pengungsi yang tersebar di berbagai wilayah di Myanmar. Para tetua etnis Rohingya menyatakan bahwa sebagian besar pengungsi bahkan memilih kembali ke sejumlah kota terpencil di bagian utara Rakhine.

Di kamp pengungsian, pengungsi bertahan hidup hanya dengan mengandalkan sumbangan beras dari sejumlah badan amal. Mereka tidak memiliki akses perawatan kesehatan, pendidikan yang layak maupun pekerjaan.

"Orang kaya" 

Meskipun demikian, pejabat pemerintah daerah bersikeras bahwa mereka yang tinggal di kamp pengungsian hidup dengan berkecukupan dan kaya raya.

"Kamp-kamp itu stabil. Orang-orang di sana kaya, mereka memiliki tanah dan mereka menjual hasil panen mereka di pasar," kata U Tin Maung Swe, sekretaris untuk pemerintah negara bagian Rakhine sembari menunjukkan booklet yang memotret geliat proyek di sekitar kamp pengungsian, seperti pembangunan jalan aspal yang mulus dan pembangunan sekolah.

Namun, Be Be Asha, 20 tahun, seorang wanita Rohingya yang tengah hamil selama delapan bulan bersama suaminya mengakui mereka khawatir akan masa depan mereka meskipun memutuskan kembali ke kamp pengungsian.

Asha diselamatkan pada menit terakhir oleh suaminya dan sejumlah imigran lainnya ketika penyelundup hendak mengusirnya dari kapal ketika dia kehilangan kesadaran. Asha menyatakan dia belum pulih sepenuhnya dari kejadian tersebut, dan mengkhawatirkan kondisi janinnya.

"Saya ingin mengecek kehamilan di klinik desa terdekat.Tapi kami bahkan tidak memiliki cukup uang untuk sampai ke desa itu," kata Asha. (ama/stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER