Jakarta, CNN Indonesia -- Salon kuku, salon pijat, kafe dan tanda-tanda lain dari konsumerisme yang tak pernah ada sebelumnya, kini mulai bermunculan di Korea Utara, benteng pertahanan Perang Dingin terakhir yang belum ditembus dunia.
Korea Utara meroperasikan ekonomi terpusat meniru model yang dulu dijalankan oleh Uni Soviet. Gaya konsumtif Barat dilarang.
Namun sejalan dengan pertumbuhan kelas menengah Korea Utara yang menghasilkan uang dari pendapatan tidak resmi, permintaan produk-produk seperti kosmetik, ponsel pintar, jus buah impor, dan pakaian merk asing, kini meningkat, menurut warga dan pengunjung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekarang ada 2,5 juta pelanggan telepon seluler, dari 24 juta keseluruhan penduduk Korea Utara. Bahkan beberapa pabrik milik negara melakukan diversifikasi lini produk dari kebutuhan sehari-hari untuk memenuhi permintaan barang yang tidak terlalu penting.
"Tidak ada orang yang butuh minum kopi, dan tidak ada kebutuhan untuk menghabiskan uang untuk itu, tapi itulah yang dilakukan orang-orang. Ini yang sedang terjadi di Pyongyang, dan ini adalah perubahan," kata Nils Weisensee, peracik kopi dari Jerman yang bekerja dengan LSM Choson Exchange yang berbasis di Singapura untuk melatih warga Korea Utara dalam bisnis itu.
Meski sistem represif negara dan kemiskinan membuat Korea Utara masih jauh dari surga konsumen, namun banyak warga yang kini ‘naik kelas’ secara ekonomi, menjadi golongan kaya yang disebut “Donju”, berkat ekonomi tak resmi.
Beberapa Donju menghabiskan uang mereka untuk biaya belajar bahasa Inggris secara privat untuk anak-anak mereka, atau untuk membeli pakaian buatan Korea Selatan atau Jepang, menurut penelitian oleh Korea Institute for National Unification (Kinu) di Seoul.
"Orang-orang dapat memilih antara pasta gigi yang menggunakan kristal atau nanoteknologi yang lebih efektif daripada pasta gigi yang normal, atau yang khusus memiliki rasa untuk anak-anak," kata Weisensee.
Banyak Donju menghasilkan uang dengan berdagang di pasar informal atau dengan mendirikan usaha kecil. Beberapa bisnis beroperasi sebagai bentuk kemitraan publik-swasta, di mana staf BUMN yang diberi izin untuk memulai perusahaan kuasi-otonom.
Sekitar 70 persen dari keuntungan perusahaan itu masuk ke kas negara, dan sisanya untuk individu, menurut pembelot Korea Utara, Choi Song-min, yang mengelola sebuah layanan pengiriman sebelum ia melarikan diri ke Selatan pada 2011.
"Sebagai contoh, di cabang Kementerian Transportasi di kota Chongjin, mereka mungkin mengatakan kepada bos mereka 'bagaimana kalau kita menjual kopi kepada orang-orang yang menunggu bus kita’” kata Choi, yang kini menulis untuk Daily NK, sebuah situs yang berbasis di Seoul, dan memiliki kontak teratur dengan sumber di Korea Utara.
Pada bagian makanan pusat perbelanjaan Kwangbok di pusat Pyongyang, pembeli yang berpunya dapat memilih antara berbagai macam makanan konsumen seperti jus buah, cokelat dan soda, menurut Troy Collings dari Young Pioneer Tours.
"Orang-orang tidak hanya membeli makanan pokok. Mereka sedang mempertimbangkan faktor selain harga, dengan membeli jus jeruk yang diimpor daripada yang lokal, misalnya," kata Collings, yang biasa memimpin perjalanan wisata ke Korea Utara.
 Banyak kedai-kedai kopi yang muncul di Korut, meski di lain pihak, geliat ekonomi ini berbenturan dengan krisis energi yang akut. (Handout via Reuters) |
Bahkan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un sempat mengatakan bahwa kosmetik Korea Utara harus bersaing dalam kualitas dengan merek-merek asing yang mewah seperti Chanel dan Christian Dior, menurut Choson Sinbo, sebuah surat kabar pro-Korea Utara di Jepang.
“Orang-orang kaya baru yang mendapat uang di pasar ini membutuhkan saluran untuk konsumsi," kata Ahn Chan-il, 63, seorang pembelot Korea Utara dan mantan pejabat intelijen Korea Selatan yang menerima informasi dari kontaknya di Korea Utara.
"Hal-hal seperti mobil, pijat, undian, anjing peliharaan. Orang Korea Utara sudah naik dalam hal ekonomi pasar, bukan rezim," kata Ahn.
PyonghattanKapitalisme Korea Utara yang kini menggeliat, berbenturan tak hanya pada tekanan pemerintah yang kadang brutal, tapi kekurangan energi yang kronis, serta korupsi, yang akan memastikan perubahan berjalan lamban.
"Apa gunanya tempat-tempat yang berhias ini, yang sebagian besar meniru kehidupan orang kaya baru China jika tidak ada listrik untuk memasak makanan?" kata sumber diplomatik di Pyongyang kepada Reuters.
Salah satu pusat keramainan di kota Pyongyang, yang dikenal oleh warga asing sebagai "Pyonghattan" atau "Dubai", adalah lokasi pusat perbelanjaan mahal, restoran sushi dan kedai kopi 24 jam.
"Sering kali Anda diusir, bukan karena Anda adalah seorang asing, tetapi karena tidak ada bahan bakar untuk mengoperasikan dapur. Cobalah berusaha mendapatkan makanan di Pyongyang setelah pukul 10 malam,” kata sumber itu.
Pembelot mengatakan ledakan konsumen meluas pula ke kota-kota di luar Pyongyang, di mana pasar yang ramai atau stasiun kereta api sekarang menjadi lokasi bagi warung kopi kecil, dan memakai perhiasan adalah sebuah status.
Ahn mengatakan kota terdekat Pyongsong merupakan tempat banyak warga kaya Korea Utara, berkat usaha grosis mengimpor produk dari China.
Choi mengatakan tren minum kopi bagi warga berduit Korea Utara mulai muncul tahun lalu. "Untuk terlihat keren, Donju, pejabat partai dan orang-orang muda seperti mahasiswa pergi ke kedai kopi untuk bertemu orang-orang.”
(stu)