Taichung, CNN Indonesia -- Dua puluh enam tahun setelah Wu'er Kaixi berdiri bersama pemuda-pemuda lainnya menghadapi tank Tentara Pembebasan Rakyat di Lapangan Tiananmen, pegiat demokrasi China ini memiliki keyakinan untuk mendapatkan satu buah kursi di parlemen Taiwan.
Pemungutan suara untuk presiden dan parlemen baru Taiwan akan digelar pada Januari mendatang. Diperkirakan suara pro-kemerdekaan dari Partai Progresif Demokratik, DPP, akan memenangkan pemilihan tersebut dengan jumlah suara terbanyak.
Wu'er telah mendiami Taiwan selama hampir 20 tahun. Pria yang merupakan oposisi dari DPP ini telah menyetujui kesepakatan bersama di mana salah satu calon yang mendapat dukungan paling sedikit akan mendukung calon lainnya dalam upaya menggeser petahana dari partai berkuasa, yaitu Partai Nasionalis China, dikenal juga sebagai Kuomintang (KMT), di sebuah daerah di pusat Taiwan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"KMT perlu dinormalisasi. Ia adalah raksasa besar," ujar pria beretnis Uighur ini yang melarikan diri dari China dan menetap di Taichung pada 1996.
"Misi terbesar dalam kampanye ini adalah memperdalam demokrasi Taiwan," ujar pria yang secara resmi telah meluncurkan kampanye untuk mendapat kursi legislatif, Jumat (24/7), dilansir Reuters.
Pandangan KMT terhadap masa depan hidup harmonis bersama China dikritisi oleh suara-suara dari para pemuda Taiwan yang kini beralih ke partai politik baru.
Perselisihan antara polisi dan pegiat demokrasi di Hong Kong tahun lalu pun dianggap semakin memperparah kecurigaan penduduk Taiwan kepada Beijing terkait militer dan politik.
Wu'er masih berusia 21 tahun ketika bergabung ke dalam aksi demo menuntut demokrasi pada 1989 di Lapangan Tiananmen. Di sana, ia bersama dengan yang lain ditekan oleh Tentara Pembebasan Rakyat, tank-tank pun secara sadar melepaskan tembakan ke arah mayoritas pelajar ini.
Wu'er mengatakan pada Jumat bahwa jika ia terpilih nanti, ia akan menyerukan Taiwan untuk mengubah konstitusi dan mengakui Republik Rakyat China. Dahulu, pemerintahan Partai Komunis China di bawah Mao Zedong berhasil mengalahkan pasukan Republik China yang dipimpin oleh Partai Kuomintang, Chiang Kai shek, dalam perang sipil pada 1949. Chiang kemudian kabur ke Taiwan dan mendirikan pemerintahan Republik China yang sekarang menjadi Taiwan.
Selama ini, masing-masing pihak tidak secara resmi mengakui pemerintahan satu sama lain, meski Beijing tidak pernah memerintahkan pasukannya untuk mengambil kembali apa yang dianggap sebagai bagian dari negaranya.
Wu'er mengatakan kebijakan yang ia ajukan itu bertujuan untuk mendesak China agar mau mengakui situasi terkini di Taiwan sehingga dapat keluar dari kebuntuan.
 Pendukung Partai Kuomintang melambaikan bendera saat kongres partai di Taiwan, Minggu (19/7) kemarin. Partai ini mengusung figur pro China, Hung Hsiu-chu sebagai kandidat dalam pemilihan presiden Januari mendatang. (Reuters/Pichi Chuang) |
"Mungkin ini bukan satu solusi yang disenangi Beijing, tapi kami juga tahu bahwa apa yang membuat Beijing senang itu sederhana, yaitu menyerah dan tunduk," ujarnya.
"China sedang internalisasi Taiwan," lanjutnya.
Bulan lalu, Wu'er dan Chang Liao Wan-chien -- pesaing dari DPP yang berlomba memenangkan kursi legislatif yang sama di Taichung -- setuju untuk menjalankan kampanye terhadap isu-isu kebijakan dan tidak akan saling mengumpat.
Keduanya bersaing melawan petahana KMT Tsai Chin-long yang memenangkan kursi parlemen pada 2012 lalu dengan perolehan suara 51 persen.
"Kami memiliki tujuan yang sama, menggeser KMT," ujar Chang Liao, anggota dewan di Taichung, kota ketiga terbesar di Taiwan.
Keduanya mengatakan mereka akan memutuskan pada pertengahan September nanti mengenai siapa yang akan berdiri, ketika para kandidat secara resmi mendaftar untuk pemilihan nasional.
(den)