Jakarta, CNN Indonesia -- Seorang karyawan magang di kantor PBB di Jenewa, Swiss, yang tidak dibayar, David Hyde, mengundurkan diri pada Rabu (12/8), setelah fotonya tidur ditenda karena tidak mampu membayar tempat tinggal di Swiss menjadi sorotan publik.
Hyde, 22, pemuda asal Selandia Baru yang jauh-jauh terbang ke Swiss untuk bekerja sebagai karyawan magang di kantor PBB ini menyatakan bahwa biaya akomodasi di Swiss sangat mahal.
Hyde mendapat sorotan publik ketika sejumlah fotonya yang tengah mengenakan jas rapi, dengan lencana PBB di lehernya, berdiri di samping tenda biru kecil dan matras, beredar di sosial media.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Tribune de Geneve, Hyde, yang terpaksa berkemah di pinggir Danau Jenewa di dekat kebun raya kota tersebut, kini menerima tawaran akomodasi.
Namun pada Rabu, Hyde dengan kemeja kusutnya berdiri di luar gerbang markas PBB di Eropa dan mengatakan bahwa ia akan mengundurkan diri.
"Saya mengumumkan pengunduran diri saya dari program magang PBB," katanya, dikutip dari The Guardian.
"Ini adalah keputusan saya sendiri, saya memutuskan untuk mengundurkan diri karena saya merasa akan sulit bagi saya untuk fokus ke pekerjaan sebagai karyawan magang pada saat seperti ini," kata Hyde menambahkan.
Hyde, yang memulai program magangnya dua minggu lalu mengaku gembira ketika ia tahu bahwa telah diterima magang di PBB. Akan tetapi, keluarganya khawatir karena biaya hidup di sana termasuk salah satu yang tertinggi di dunia.
"Saya ingin memperjelas bahwa tidak ada siapapun yang memaksa saya untuk tidur di tenda, melainkan keadaan saya serta kondisi program magang ini yang membuat saya melakukan hal itu," ujar Hyde kepada wartawan pada Rabu.
Hyde mengaku ketika sedang diwawancara oleh PBB, dia tidak mengatakan yang sebenarnya ketika ditanya apakah ia akan mampu membayar biaya hidupnya selama berada disana.
"PBB sudah dengan jelas memberi tahu terkait kebijakan program magangnya dari awal, bahwa tidak ada gaji, bantuan transportasi, uang makan ataupun bantuan kesehatan. Maka dari itu, saya harus bertanggung jawab karena telah mengambil program magang ini di awal," jelas Hyde.
Meski demikian, Hyde menyatakan bahwa sistem magang di PBB tidak adil. Hyde ingin mendorong pengakuan nilai dan hak-hak bagi karyawan magang di seluruh dunia.
Ibunda Hyde, yang tinggal di Christchurch, Selandia Baru, mengatakan kepada Stuff.co.nz bahwa ia dan keluarga siap membantu Hyde, tapi ia ragu apakah Hyde akan mau menerima bantuan tersebut atau tidak.
"Keluarga sangat kaget ketika mendengar situasi (Hyde) disana," kata Vicki Hyde, sembari menambahkan bahwa anaknya mempunyai pandangan kuat tentang prinsip hidup dan cara memperlakukan orang lain.
Ibunda Hyde memaparkan bahwa Hyde belakangan memang tertarik untuk menghabiskan waktu di luar negeri, seperti mempelajari ilmu politik di Paris dan bekerja di Kenya. Aktivitas ini kadang membuatnya sulit dihubungi.
Keadaan Hyde juga mengejutkan sejumlah pegiat hak asasi karyawan magang. Tanya de Grunwald, penemu Graduate Fog, sebuah situs lowongan kerja, mengatakan bahwa Hyde tidak seharusnya mengundurkan diri.
"Harusnya Hyde tidak mengundurkan diri, justru PBB yang seharusnya memiliki tanggung jawab untuk membayar semua stafnya dengan adil," kata Grunwald.
Ia menambahkan bahwa baru pertama kali dia mendengar ada pelamar yang ditanya soal apakah dia mampu membiayai dirinya sendiri, dalam wawancara kerja.
"Sejujurnya, saya terkejut, dan fakta bahwa PBB adalah organisasi yang melakukannya membuat saya bingung," tambahnya.
Grunwald menegaskan para pelamar tidak seharusnya dipertanyakan kondisi finansialnya untuk mendapatkan pekerjaan di suatu tempat. Dia menilai tindakan ini tidak profesional dan merupakan sistem perekrutan yang salah.
Praktek magang yang tidak dibayar ini dapat berlangsung selama enam bulan dan diiklankan secara terbuka. Sejumlah petisi sebelumnya telah dibuat, menuntut PBB agar memberikan upah terhap karyawan magangnya.
Seorang juru bicara PBB, Ahmad Fawzi, menyatakan resolusi sidang umum melarang organisasi untuk membayar karyawan magang.
"Kita tidak diizinkan walaupun kita mau membayar. Percayalah, kami ingin membayar mereka. Kami sangat menerima jika ada perubahan dalam sistem tersebut," kata Fawzi, menurut The Local.
Menurut survei yang dilakukan Asosiasi Magang Jenewa, setiap tahun PBB dan badan-badannya mempekerjakan 162 karyawan magang. Terdapat 68,5 persen karyawan magang yang belum dibayar pada 2013.
(ama/ama)