Castro Bersaudara Buka Pintu Kuba bagi Gereja dan Paus

Melodya Apriliana/Reuters | CNN Indonesia
Selasa, 08 Sep 2015 18:41 WIB
Perubahan sikap Castro bersaudara terhadap gereja dan Paus menandai perbaikan hubungan usai berpuluh tahun Kuba mendeklarasikan diri sebagai negara komunis.
Para pendeta diburu dan sekolah-sekolah agama ditutup setelah mereka merebut kekuasaan di Kuba pada revolusi tahun 1959 dan mendeklarasikan diri sebagai negara komunis. (Dok.commons.wikimedia.org)
Jakarta, CNN Indonesia -- Meski dibaptis sebagai Katolik Roma dan dididik oleh kelompok Jesuit, Fidel dan Raul Castro berbalik melawan Gereja Katolik dengan mendeklarasikan Kuba sebagai negara ateis. Para pendeta diburu dan sekolah-sekolah agama ditutup setelah mereka merebut kekuasaan di Kuba pada revolusi tahun 1959.

Namun begitu, di masa tuanya, mereka tampaknya membawa kembali gereja dengan menjadi tuan rumah bagi kunjungan rutin kepausan pekan depan.

Ketika Paus Fransiskus tiba di Kuba 19 September nanti, dia akan menjadi paus ketiga yang datang berkunjung ke negara komunis itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kunjungannya selama tiga malam menandakan hubungan baru antara gereja dan Kuba, serta pelunakan sikap dua bersaudara Castro terhadap agama masa kecil yang kemudian mereka lawan.

Sebaliknya, sikap gereja kini juga tak lagi konfrontatif. Bahkan, gereja punya peranan penting dalam perbaikan hubungan antara Kuba dan Amerika Serikat yang dimulai sejak akhir tahun lalu.

Gereja memang masih menginginkan kembalinya harta kekayaan gereja yang dirampas ketika revolusi berlangsung, tetapi kini gereja menggunakan strategi dialog yang cair dengan pemerintah ketimbang konflik berisiko.

Fidel Castro, sang pensiunan presiden yang kini berusia 89 tahun, telah berulang kali memuji nilai-nilai Kristen dan menganggap intelektual sekaligus pendeta Brazil, Frei Betto, sebagai teman dekatnya.

Sementara itu, Raul Castro, suksesor sang kakak, telah melangkah lebih jauh. Di Kuba, ia membuka dialog dengan para pemimpin Kristen dan membuat beragam persetujuan, dari membebaskan puluhan tahanan politik, hingga memperbolehkan prosesi agama di negara itu.

Gereja telah mendukung upaya keduanya untuk mereformasi gaya komando ekonomi ala Soviet. Secara pribadi, Paus Fransiskus menjadi penengah saat Kuba dan Amerika Serikat sepakat untuk mengesampingkan kebencian kala Perang Dingin berlangsung.

Raul Castro menjumpai Paus Fransiskus awal tahun ini di Roma dan berkata bahwa ia amat terkesan dengan “kearifan dan kesantunan” Paus.

"Bila Paus terus berlaku seperti apa yang selama ini dilakukannya, cepat atau lambat saya akan beribadah lagi dan kembali ke gereja, dan saya tidak mengada-ada," ujar Castro kepada reporter.

Komentar itu mengagetkan seluruh dunia, sementara pihak gereja di Kuba menanggapinya dengan hati-hati.

"Saya belum pernah mendengar bahwa mereka kembali ke gereja, tetapi orang bisa berubah sepanjang hidupnya," tutur Dionisio Garcia, uskup agung Santiago de Cuba dan Presiden Konferensi Uskup Kuba.

Dia menekankan keinginannya akan kebebasan agama secara penuh di Kuba.

"Banyak hal telah berkembang untuk semua agama. Saya percaya mentalitas negara ini telah berubah. Lebih banyak toleransi untuk praktik-praktik agama. Belum semua yang kita inginkan terwujud, tetapi segalanya telah jadi lebih baik," imbuh sang uskup.

Gereja mengakui bahwa ada perkembangan besar di Kuba, terutama sejak terobosan negosiasi di 2010 yang berujung pembebasan 75 tahanan politik.

"Dialog akan dan harus terus berlanjut, tapi tidak harus berdasarkan permintaan dan klaim dari gereja. Dengan diakuinya tempat dan misi gereja di masyarakat dan hubungannya dengan negara sekuler, itu saja cukup," kata juru bicara Orlando Marquez.

Paus Fransiskus memegang peranan kunci dalam perbaikan hubungan AS-Kuba setelah lima dekade lebih bermusuhan. (Reuters/Jose Miguel Gomez)
Perubahan lambat

John Paul menjadi Paus pertama yang melakukan kunjungan historis ke Kuba pada 1998, diikuti oleh Paus Benediktus tahun 2012. Keduanya bertemu dengan Castro bersaudara.

Dua kunjungan itu menjadi momentum bagi proses perubahan yang lambat dan penuh kehati-hatian di Kuba sejak berakhirnya Perang Dingin.

Ketika pemerintah Kuba masih melecehkan oposisi dan tidak punya keinginan untuk mengurangi dominasi Partai Komunis atau mengizinkan pemilu multi partai, mereka juga membebaskan lebih banyak lawan damai dari penjara -- proses yang dibantu juga oleh gereja.

Pemerintah juga telah mencoba meningkatkan hubungan yang lebih moderat dengan Amerika Serikat setelah berpuluh tahun lamanya dalam kebisuan. Banyak perubahan yang diharapkan dari relasi diplomatik yang diperbaharui ini.

Sementara itu, gereja menerima keuntungan yang jelas. Natal akan menjadi hari libur raya lagi di Kuba setelah kunjungan Paus John Paul, juga hari paskah setelah kunjungan Paus Benediktus. Dua gereja baru sedang dibangun, satu di Havana dan lainnya di barat provinsi Pinar del Rio, untuk pertama kalinya sejak 1959.

Namun, para pengamat berpendapat bahwa Castro bersaudara hanya sedang menampilkan citra politik ketimbang kebangkitan spiritual yang sebenarnya.

Pada 1959, mayoritas kependetaan di Kuba adalah orang Spanyol dan amat konservatif, sehingga tak pelak menimbulkan keretakan ketika Fidel Castro menggulingkan diktator Fulgencio Batista.

"Mereka dijiwai semangat anti-komunisme dari perang sipil di Spanyol. Mereka berpihak pada Amerika Serikat dan pendukung rezim Batista, sehingga itu merupakan konfrontasi politik dan bukan agama," ujar Enrique Lopez Oliva, sejarawan agama di Universitas Havana.

"Ya, Castro bersaudara telah berubah, dan gereja pun begitu. Itulah mengapa rekonsiliasi sekarang menjadi mungkin," tambahnya.

Kakak-beradik itu mengklaim bahwa pelajaran dari kehidupan Kristus cocok dengan sosialisme.

"Jika orang-orang menyebut saya seorang Kristiani, bukan dari sudut pandang agama, namun dari perspektif visi sosial, saya menyatakan bahwa seorang Kristen," Fidel Castro berujar pada otobiografi oralnya kepada jurnalis Ignacio Ramonet yang diterbitkan pada 2006 sebelum penyakit memaksanya menyerahkan kekuasaan kepada Raul.

Lopez Oliva mengatakan bahwa keduanya mengubah sikap mereka untuk menopang dukungan pada 1990-an ketika runtuhnya Uni Soviet memicu krisis ekonomi dan isolasi politik. Tahun 1991, Partai Komunis menurunkan larangannya bagi para penganut agama.

"Gereja adalah organisasi non-pemerintah terbesar di Kuba dan masih punya peran yang signifikan," imbuhnya. "Mereka butuh gereja sebagai legitimasi dan mediator secara internasional dan domestik." (stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER