Jakarta, CNN Indonesia -- Penyidik PBB mengungkapkan kekhawatirannya soal apakah pemilu Myanmar yang akan digelar bulan depan bisa berlangsung bebas dan adil, mengingat puluhan kandidat didiskualifikasi dan ratusan ribu orang tidak diberikan akses untuk memilih.
Yanghee Lee, pelapor khusus PBB mengenai penerapan HAM di Myanmar, juga menyatakan pembatasan hak kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat, termasuk sejumlah penangkapan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan terhadap demonstran, meningkatkan kekhawatiran soal keberlangsungan pemilu.
"Kredibilitas pemilu akan dinilai dari wilayah di mana pemilu itu dilangsungkan, dan sejauh mana semua lapisan masyarakat Myanmar diizinkan untuk berpartisipasi secara bebas dalam proses politik," tulis Lee dalam sebuah laporan yang dia disajikan ke komite Majelis Umum PBB pada Rabu (28/10), dikutip dari Reuters.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemilu Myanmar yang akan dilangsungkan pada 8 November mendatang disebut-sebut sebagai yang pemilihan suara pertama yang bebas dan adil dalam 25 tahun terakhir. Pemilu bersejarah ini akan menentukan lingkup reformasi demokrasi yang dimulai empat tahun lalu ketika militer mundur dari kekuasaannya yang telah berlangsung selama 49 tahun.
Meski Lee mengakui bahwa reformasi selama empat tahun terakhir "tidak diragukan dalam meningkatkan situasi hak asasi manusia," masih ada sejumlah tantangan penerapan HAM, termasuk meningkatnya intimidasi, pelecehan dan pengawasan kepada para pembela hak asasi.
Meski demikian, Duta PBB untuk Myanmar, U Kyaw Tin menolak laporan Lee dan menilai laporan itu mengandung "tuduhan yang tidak akurat, terdistorsi dan menyesatkan."
"Pemilu bersejarah ini tidak boleh dirusak oleh praduga dan penghasutan beberapa tantangan kecil," katanya.
"Myanmar melakukan yang terbaik dengan komitmen penuh untuk membuat (pemilu ini) bebas, adil dan transparan," ujarnya melanjutkan.
Lee menyatakan lebih dari 60 kandidat, terutama dari umat Muslim, didiskualifikasi untuk mencalonkan diri pada pemilu tahun ini.
Para pekerja migran, pengungsi dan warga Myanmar yang tinggal di luar negeri berpotensi tidak bisa memilih, begitu juga dengan mereka yang tinggal di sejumlah daerah konflik dan di wilayah yang terkena dampak banjir, menurut Lee.
Lee menyatakan situasi paling memprihatinkan adalah pencabutan hak pilih kepada 760 ribu orang yang sebelumnya memiliki kartu pendaftaran sementara.
Mereka termasuk warga keturunan China dan India, dan sebagian besar adalah etnis Rohingya di negara bagian Rakhine yang sebelumnya memiliki hak untuk memilih dalam pemilu 2010 dan 2012.
Hingga saat ini, pemerintah Myanmar masih menyangkal hak kewarganegaraan etnis Muslim Rohingya.
Pada bentrokan berdarah pada 2012 silam, ratusan orang tewas ketika etnis Muslim Rohingya bentrok dengan etnis Rakhine Buddha. Sekitar 140 ribu Rohingya hidup di kamp-kamp yang kumuh, sementara ribuan lainnya melarikan diri dengan perahu, dan menyebabkan krisis migrasi regional di sejumlah negara ASEAN.
(ama)