Jakarta, CNN Indonesia -- Aktivis perempuan yang memperjuangkan suara oposisi di Myanmar ditangkap pada awal pekan ini karena menuliskan komentar satire di halaman akun media sosial Facebook soal warna baju seragam militer. Tindakan ini memantik perseteruan soal kebebasan berbicara di negara yang akan segera menggelar pemilu demokratis pertama ini.
Dilaporkan Channel NewsAsia pada Rabu (15/10), Chaw Sandi Tun, 25, ditangkap di Yangon pada Senin (13/10) setelah mempertanyakan kesamaan warna seragam baru tentara Myanmar dengan rok tradisional khusus yang disebut "longyi" yang kerap dikenakan oleh pemimpin partai Liga Nasional untuk Demokrasi, Aung San Suu Kyi.
"Mereka (militer) seperti memakai warna yang sama dengan longyi yang dikenakan oleh ibu Suu," tulis Tun dalam komentar di bawah foto kepala militer Jenderal Min Aung Hlaing dan perwira militer yang berpakaian hijau muda mirip dengan rok Suu Kyi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika Anda sangat menyukai Ibu (Suu), mengapa Anda tidak mengenakan longyi ibu (Suu) di kepala Anda?," tulis Tun.
Hingga kini, belim ada kepastian soal dakwaan yang akan dikenakan kepada Tun atas komentar itu.
Beberapa pekan menjelang pemilihan umum demokratis pertama di Myanmar, terdapat kekhawatiran bahwa represi kebebasan sipil masih terjadi di negara itu,
Seorang petugas polisi lokal di Yangon yang tak dipublikasikan namanya, mengkonfirmasi penangkapan sang aktivis perempuan, tetapi tidak dapat memberikan rincian lebih lanjut.
Juru bicara NLD, Nyan Win menyatakan pihaknya siap memberikan bantuan hukum kepada aktivis yang ditahan di penjara di wilayah delta Irrawaddy dan tengah menunggu sidang pada 27 Oktober mendatang, menurut keterangan keluarganya.
Pada 2011, pemerintahan semi-sipil Myanmar menggantikan pemerintahan junta militer yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Pemerintahan yang dipimpin Thein Sein dipuji secara luas karena memperkenalkan reformasi politik dan ekonomi, yang berujung pada penurunan sanksi internasional.
Meski demikian, dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah lembaga pemerhati HAM menilai pemerintah Myanmar kembali meluncurkan taktik junta militer. Tuduhan ini utamanya menguat pasca tindakan keras kepolisian dalam kerusuhan demonstrasi mahasiswa awal tahun ini.
Bulan Februari lalu, seorang wartawan foto ditangkap karena mengunggah tulisan satire di Facebook yang mengejek militer. Pada Oktober lalu, seorang jurnalis lain ditembak mati oleh tentara dalam kasus yang diangkat oleh Presiden AS, Barack Obama pada kunjungan resminya ke Myanmar.
Dua tentara dipersalahkan atas insiden tersebut, tetapi dibebaskan dari tuduhan pembunuhan.
(ama)