Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam semarak menyambut pesta demokrasi di Myanmar yang digelar pada Minggu (8/11), tokoh oposisi Aung San Suu Kyi tak luput dalam sorotan media.
Peraih Nobel Kemanusiaan pada 1991 ini dinilai sebagai salah satu simbol penentang rezim pemerintahan junta militer dan tokoh yang selalu mengupayakan demokrasi di tanah Myanmar.
Suu Kyi lahir dari pasangan Jenderal Aung San, tokoh yang dinilai luas berjasa dalam mengupayakan kemerdekaan Myanmar dari Inggris, dan Khin Kyi, salah satu figur politisi terkenal di Myanmar pada 19 Juni 1945 di Rangoon (Yangon).
Namun, Suu Kyi kecil hampir tak memiliki memori personal dengan sang ayah, karena satu bulan sebelum ulang tahunnya yang kedua, ayahnya dibunuh di Yangon oleh tentara paramiliter yang setia dengan pemimpin Myanmar sebelumnya, U Saw.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suu Kyi mengenyam pendidikan jurusan politik di New Delhi, India pada 1964, dan melanjutkan studinya di bidang filsafat, politik dan ekonomi di Universitas Oxford pada 1969. Suu Kyi sempat bekerja di PBB selama tiga tahun, dan berkorespondensi dengan sejarawan Inggris dan pakar Bhutan, Michael Aris. Keduanya kemudian menikah pada 1972.
Pada April 1988, Suu Kyi kembali ke Yangon untuk merawat ibunya yang tengah sakit keras. Saat itu, aksi protes pro-demokrasi tengah merebak di hampir seluruh penjuru Myanmar, menentang pemerintahan junta militer pimpinan Ne Win.
Terpanggil untuk melanjutkan perjuangan ayahnya, Suu Kyi memutuskan memasuki dunia politik Myanmar dan membantu mendirikan partai politik oposisi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dan menyerukan akhir dari rezim militer.
Tahanan rumahTerancam oleh kehadiran dan kepopuleran Suu Kyi di mata publik, pemerintahan junta militer kemudian menjatuhkan hukuman tahanan rumah kepada Suu Kyi atas "tuduhan membahayakan negara."
Status "tahanan rumah" yang disandang Suu Kyi ternyata tak mampu membendung kepopuleran NLD pada pemilu 1990. NLD berhasil mengamankan 392 kursi dari 485 kursi yang tersedia, mengalahkan Partai Persatuan Nasional (NUP) yang berkuasa. Meski demikian, militer menganulir hasil pemilu dan menolak mundur dari kekuasaan.
Atas upayanya menyerukan demokrasi di Myanmar, Suu Kyi dianugerahi penghargaan Nobel Kemanusiaan pada 1991, meski berada dalam tahanan rumah.
Pada 1995, Suu Kyi dibebaskan dari status tahanan rumah, tetapi tidak dapat bepergian ke luar Yangon, karena dikhawatirkan akan menjumpai para pendukungnya untuk menggalang kekuatan oposisi.
Larangan ini terus berlanjut hingga dia tak dapat menjenguk suaminya yang tengah sakit keras. Aris akhirnya meninggal pada 1999, namun Suu Kyi menolak tawaran junta yang memperbolehkan Suu Kyi kembali ke Inggris untuk menghadiri pemakaman suaminya, karena takut dia tak akan bisa kembali Myanmar.
Pada 2003, kelompok bersenjata pro-junta menyerang konvoi Suu Kyi dan pendukungnya di Depayin. Insiden ini berujung dengan diberlakukan kembali tahanan rumah kepada Suu Kyi.
Sepanjang masa tahanannya, Suu Kyi berkali-kali meminta agar pemerintah junta melobi komunitas internasional untuk mencabut berbagai sanksi atas Myanmar, yang menyengsarakan rakyat dan telah berlangsung selama dua dekade.
Tetapi pemerintahan yang dipimpin Than Shwe tidak merespon permintaan Suu Kyi dan menilai permintaannya "tidak tulus" dan "tidak jujur", seperti dikutip dari Reuters.
 Peraih Nobel Kemanusiaan pada 1991 ini dinilai sebagai salah satu simbol penentang rezim pemerintahan junta militer. (Reuters/Olivia Harris) |
Suu Kyi bebasPemerintahan junta militer kemudian mengumumkan referendum pada 2008. Konstitusi yang baru ini termasuk klausa 59f yang menyatakan bahwa seorang yang memiliki pasangan dan keturunan warga negara asing dilarang mencalonkan diri sebagai presiden. Peraturan ini dinilai sengaja dibuat untuk melarang Suu Kyi berpartisipasi dalam pemilu.
Pemerintah junta juga memutuskan akan kembali menggelar pemilu pada 2010, sebagian besar dipicu oleh tekanan internasional. kecewa dengan konstitusi baru, NLD kemudian memboikot pemilu tahun 2010.
Pemilu tahun 2010 dimenangkan secara telak oleh Partai Persatuan Solidaritas Pembangunan, USDP, yang sebagian besar diisi oleh mantan jenderal militer, termasuk Thein Sein. Hasil ini secara luas memantik kecurigaan akan kecurangan hasil pemilu.
Sepekan setelah pemilu, Suu Kyi dibebaskan dari tahanan rumah. NLD kemudian kembali menggumpulkan kekuatan untuk mengikuti pemilu sela pada 2012.
Sebagai pemimpin NLD, Suu Kyi menjanjikan amandemen undang-undang yang disusun oleh junta militer, mempercepat demokrasi, dan menciptakan perdamaian dengan kelompok minoritas yang memberontak.
Berbagai janji itu rupanya berhasil mendongkrak popularitas NLD dan mengamankan 43 kursi dari 46 kursi parlemen yang diperebutkan. Sementara USDP tak memenangkan satu kursi pun.
Sejumlah perubahan terjadi di bawah kepemimpinan Thein Sein. Hubungan Myanmar dengan dunia internasional membaik. Namun, kerusuhan berdarah antara etnis Buddha dan etnis Muslim Rohingnya yang menewaskan 90 orang di negara bagian Rakhine pada 2012, mengejutkan publik internasional dan menandakan pelanggaran HAM masih terus terjadi di Myanmar.
Nasib RohingyaMeski demikian, Suu Kyi yang populer mendapat kritikan keras dari publik internasional karena dinilai minim menyuarakan nasib kaum minorias Muslim Rohingya, tidak diakui sebagai warga negara, dan kerap menerima diskriminasi di Myanmar.
Ketika berkampanye di negara bagian Rakhine, wilayah yang menjadi lokasi konflik antara warga Buddha dengan etnis Muslim Rohingya pada pertengahan Oktober lalu, Suu Kyi terlihat menghindari komentar soal hak-hak warga negara bagi Rohingya. Kampanye Suu Kyi bahkan digelar jauh dari kamp pengungsi Rohingya.
Menurut catatan Reuters, tidak satu pun warga Muslim yang menjadi kandidat dari NLD untuk wilayah manapun. "Kami memiliki sejumlah kandidat Muslim yang berkualitas, tapi kami tidak dapat mengajukan mereka karena berbagai alasan politik. Jika kami mengajukan kandidat Muslim, Ma Ba Tha akan memberikan stereotip kepada kami, dan kami harus menghindari itu," kata Win Thein, pejabat parlemen senior Myanmar, dikutip dari Reuters (19/10).
 Masyarakat Rohingya terdampar di Aceh setelah kabur dari kekerasan di Myanmar. (Reuters/Darren Whiteside) |
Selain itu, pelapor khusus PBB mengenai penerapan HAM di Myanmar, Yanghee Lee mengaku khawatir soal apakah pemilu Myanmar tahun ini bisa berlangsung bebas dan adil, mengingat lebih dari 60 kandidat, terutama dari umat Muslim, didiskualifikasi untuk mencalonkan diri pada pemilu tahun ini.
Menghindari berkomentar soal diskriminasi terhadap umat Muslim, Suu Kyi menyerukan perubahan terhadap pemerintahan semi-militer yang dipimpin Thein Sein. Dalam kampanye NLD yang digelar besar-besaran pada Senin (2/11), pemilu tahun ini menjadi kesempatan besar bagi 30 juta pemilih untuk melakukan perubahan di Myanmar.
"Pemilu ini adalah kesempatan besar bagi negara kita untuk berubah," ujar Suu Kyi.
NLD memiliki lebih dari 1.000 kandidat dalam pemilihan umum yang akan digelar pada Minggu (8/11) mendatang. NLD disebut-sebut sebagai rival terbesar bagi partai yang berkuasa, USDP.
Namun, tidak ada jaminan bahwa popularitas Suu Kyi dan aspirasi demokratis yang disuarakan NLD dapat membuat partai ini meraih cukup suara publik untuk mengamankan mayoritas kursi di parlemen dan majelis pada pemilu mendatang.
Dalam pemilu tahun ini, lebih dari 6.000 kandidat bertarung memperebutkan 1.711 kursi di parlemen nasional dan semua majelis untuk 14 negara bagian dan wilayah Myanmar.
Selain NLD dan USDP yang diperkirakan akan merebut mayoritas suara, sejumlah partai lain diperkirakan mampu mengantongi suara besar, seperti Partai Demokratik Nasional Etnis Shan (SNDP), Liga Nasional Etnis Shan untuk Demokrasi (SNLD) dan Partai Nasional Arakan (ANP) dari negara bagian Rakhine. Terdapat total 90 partai politik yang berlaga dalam pemilu ini.
(den)