Negara Maju Dinilai Enggan Jatuhkan Sanksi Keras ke Korut

Amanda Puspita Sari/Reuters | CNN Indonesia
Kamis, 07 Jan 2016 13:33 WIB
Para pakar memprediksi sejumlah negara besar dunia akan enggan menjatuhkan sanksi keras kepada Pyongyang agar menghentikan program senjata nuklir mereka.
Para pakar memprediksi sejumlah negara besar dunia akan enggan menjatuhkan sanksi keras kepada Pyongyang agar menghentikan program senjata nuklir mereka. (Reuters//Yonhap)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah bakal calon presiden dan anggota Kongres AS menuntut dijatuhkannya lebih banyak sanksi kepada Korea Utara, menyusul uji coba bom nuklir yang diluncurkannya pada pekan ini. Namun, para pakar memprediksi sejumlah negara besar dunia akan enggan menjatuhkan sanksi keras kepada Pyongyang agar menghentikan program senjata nuklir mereka.

Saat ini, Korea Utara sendiri sudah menerima beragam sanksi internasional. DK PBB pun mengaku tengah mempersiapkan 'sejumlah langkah baru' berupa perluasan sanksi terhadap Pyongyang dalam beberapa hari mendatang.

Para pakar Asia menilai China akan mendukung perluasan sanksi PBB, meskipun China merupakan negara tetangga dan salah satu sekutu utama Korea Utara. Meski demikian, dukungan China untuk sanksi ini diprediksi akan terbatas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara Washington selama ini terkesan mengambil langkah yang hati-hati. Meskipun selama ini agresif menargetkan program militer dan senjata, AS belum memberlakukan sanksi ekonomi yang melumpuhkan Pyongyang. Hal ini diduga karena sanksi ekonomi yang terlalu berat terhadap Korut akan ikut memukul sejumlah perusahaan dan bank China yang berbisnis dengan Korea Utara.

"Kami sangat saling terkait, dan jika Anda mengacungkan pistol untuk ekonomi China, Anda juga mengacungkan senjata ke kepala Anda sendiri," kata Joseph DeThomas, mantan diplomat AS yang pernah terlibat dalam penjatuhan sanksi terhadap Korea Utara dan Iran.

Bakal calon presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump juga mendesak China untuk mengendalikan Korea Utara dan memecahkan masalah peluncuran bom nuklir ini. Trump menilai bahwa Amerika Serikat kurang menekan China agar lebih bertanggung jawab atas tindakan Korea Utara. AS, lanjut Trump, harus memberikan sanksi perdagangan kepada China.

Menjatuhkan sanksi yang lebih ketat terhadap Korut juga digaungkan oleh Clinton, yang menyerukan Beijing untuk lebih tegas dalam mencegah Pyongyang melakukan "tindakan yang tidak bertanggung jawab."

DeThomas menilai China bisa lebih memberikan tekanan kepada Korea Utara dengan membatasi pasokan energi dan investasi di berbagai bidang, seperti mineral dan pertambangan. China juga bisa membatasi perdagangan yang tidak resmi di wilayah perbatasan, atau bahkan mengambil pendekatan yang berbeda untuk para pengungsi Korea Utara, yaitu menampung mereka dan bukan menutup pintu rapat-rapat.

Ketika Pyongyang meluncurkan uji coba nuklir pada 2013, China dengan tegas memotong ekspor minyak mentah ke Korea Utara.

Tapi DeThomas menilai setiap pembicaraan sanksi terhadap Korut di diskusi PBB tidak akan menghasilkan sanksi yang benar-benar diperlukan untuk memaksa Korea Utara berubah.

"Dari perspektif China, senjata nuklir Korea Utara merupakan hal yang buruk, tetapi runtuhnya rezim Korea Utara akan menjadi hal yang lebih buruk," kata DeThomas.

Zhang Liangui, pakar Korea Utara dari Sekolah Partai Pusat di Beijing yang melatih para pejabat China yang berprestasi, mengungkapkan akan sangat sulit melihat seberapa efektif sanksi baru yang akan dijatuhkan di sebuah negara yang sudah terisolasi dari seluruh dunia.

"Isu nuklir Korea Utara telah berlangsung selama dua dekade sekarang, dan bahkan dengan kecaman berulang dari masyarakat internasional, Korea Utara terus mengembangkan nuklirnya," kata Zhang .

Katsuyuki Kawai, penasehat Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyatakan bahwa Tokyo telah mulai membahas resolusi sanksi PBB yang baru dengan Washington. Kawai memaparkan bahwa salah satu pilihan bagi Jepang adalah menerapkan kembali sanksi bilateral yang mereda pada 2014 karena Korut bersedia membuka kembali penyelidikan warga Jepang yang diculik.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, John Kirby menyatakan Washington akan bekerja dengan masyarakat internasional untuk memberikan "respon yang tepat" kepada Pyongyang. Kirby menyatakan sanksi yang akan diberikan akan "terukur, berat, jelas dan ringkas."

Berbeda dengan sanksi terhadap Iran, Amerika Serikat tidak berusaha melarang perdagangan reguler antara Korea Utara dan masyarakat internasional, yakni dengan ancaman daftar hitam bagi setiap perusahaan yang berbisnis dengan negara tersebut.

Washington menggunakan "sanksi sekunder" kepada Teheran, yang mengancam perusahaan apapun, dari negara manapun, yang membeli minyak dari Iran. Sanksi semacam ini, hingga saat ini, belum diterapkan kepada Korea Utara. (stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER